"Maaf, Bu. Kedatangan saya ke sini bukan untuk mengacaukan kehidupan keluarga ibu. Saya hanya ingin menuntut hak saya. Sudah lima bulan lebih mas Bambang tidak menafkahi saya. Apalagi sekarang saya sudah mengandung. Saya tahu, mas Bambang tidak mau mengakui pernikahan kami karena dia terganjal oleh peraturan di kantornya. Dia juga tidak ingin meninggalkan keluarganya. Tapi bukan itu yang saya tuntut, Bu. Jika sekiranya mas Bambang tidak ingin meneruskan pernikahan kami, dia harus menceraikan saya secara baik-baik. Dia harus memenuhi kewajibannya terhadap saya dan calon anaknya ini. Saya tidak ingin hidup terombang-ambing. Orang-orang di kampung banyak yang mencemooh dan mencibir saya, karena saya hidup tanpa suami. Hal itu sudah cukup membuat saya menderita....," lanjut Sari dengan suara serak.
Ia seperti ingin menangis, tapi ditahannya sehingga tampak memerah pipi dan kupingnya. Aku tertegun. Â Â
Entah kenapa, tiba-tiba kemarahan yang tadi membara dalam dadaku mendadak luruh. Pengakuan Sari yang dituturkan dengan polos membuka pintu kesadaran dalam diriku. Bisa kupahami apa yang dirasakan Sari. Sebagai sesama perempuan aku tahu, bagaimana pedihnya hati disakiti dan dikhianati. Aku mencoba berpikir jernih dan berdiri dalam posisi seperti Sari.
Mungkin Sari hanya sekadar sebagai korban. Seperti halnya diriku, dia telah dikadalin oleh mas Bambang. Dia telah tertipu oleh pesona mas Bambang. Seharusnya mas Bambang tahu kalau dirinya sudah berkeluarga. Kenapa dia nekad menikahi Sari? Apa pun alasannya, mas Bambang telah berbuat salah. Dia telah mengkhianati istri dan anak-anaknya.
 "Apakah kamu mencintai mas Bambang?" Tiba-tiba aku melontarkan pertanyaan itu pada Sari.
Perempuan itu mendongak, sejenak memandangku penuh kegalauan. Dia lalu menundukkan kembali kepalanya. Dengan agak ragu-ragu ia berkata, "Ya, Bu. Saya mencintainya. Tapi...."
"Tapi kenapa?" kejarku.
 "Saya tahu, mas Bambang sangat mencintai keluarganya. Mas Bambang juga sangat mencintai ibu. Saya tidak ingin merusak kebahagiaan orang lain. Demi keutuhan dan kebahagiaan keluarga ibu, saya rela berpisah dengan mas Bambang. Saya berjanji tidak akan mendatangi ibu lagi setelah mas Bambang menyelesaikan urusannya dengan saya. Setelah ini saya akan hidup sendiri sambil merawat anak dalam kandungan ini..."
Aku tercenung. Perempuan ini tampak begitu tegar. Ia rela berpisah dengan orang yang dicintai. Aku tahu, mungkin akan sangat berat baginya hidup sendirian menanggung beban seorang anak. Apalagi dia hanya perempuan desa miskin yang tak memiliki penghasilan. Haruskah aku mengalah, karena aku sendiri tak sanggup hidup berbagi dengan perempuan lain? Tapi... ah, begitu peliknya persoalan ini!
"Baiklah. Kamu boleh pulang. Nanti aku yang akan bicara dengan mas Bambang. Aku akan membujuknya," kataku akhirnya.
 "Terima kasih, Bu."