Perempuan yang duduk di hadapanku masih cukup muda. Umurnya sekira duapuluh lima tahun. Berpakaian sederhana dan memakai make up sederhana pula. Rambutnya yang lurus panjang diikat ke belakang. Meski penampilannya sangat sederhana terpancar keayuan dan kelembutan. Tutur katanya pun halus dan sopan, sehingga tak terkesan dia perempuan jalang.
Tapi perempuan muda inilah yang telah merebut mas Bambang, suamiku. Ya! Dia telah memikat hati suamiku, sehingga laki-laki yang sudah beranak dua itu lupa diri. Aku tak tahu, siapa diantara mereka yang lebih dulu memulai merayu sehingga tercipta hubungan gelap itu. Yang jelas, mereka telah mengkhianati aku. Mereka membokong aku dari belakang.
Mungkin seumur hidup aku tidak akan pernah tahu tindakan suamiku yang bermain api di belakangku, andai saja perempuan ini tidak datang kepadaku dan mengakui bahwa dirinya telah dinikahi mas Bambang setahun lalu. Aku sendiri heran, kenapa perempuan muda ini nekad menemuiku? Dia menceburkan dirinya ke sarang macan. Namun dia punya alasan kuat atas tindakannya ini.
Kedatangannya ke sini tak lain hendak menuntut pertanggung jawaban suamiku. Sudah berkali-kali dia menghubungi mas Bambang, tapi laki-laki itu selalu menghindar. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang, mas Bambang telah mencampakkannya setelah menikmati manis madunya. Kenyataan itulah yang mendorong Sari, demikian nama perempuan itu, nekad menemuiku. Tanpa ragu dan takut lagi, dia menceritakan apa yang terjadi.
"Saya tahu, ibu pasti sangat shock dan sakit hati atas kenyataan ini. Tapi kebenaran ini harus diungkap. Saya tak bisa selamanya hidup dalam kebohongan. Saya pun tak ingin dianggap perusak rumah tangga orang. Saya menikah dengan mas Bambang secara sah. Kami menikah di depan penghulu. Mas Bambang mengaku kalau dirinya masih bujang. Jadi tak ada alasan bagi saya dan orangtua saya menolaknya. Apalagi saat itu mas Bambang berperilaku baik dan berjanji akan mengayomi saya...," tutur Sari dengan suara tenang.
Bencana ini berawal dua tahun silam. Saat itu mas Bambang mendapat tugas ke daerah pelosok sebagai tenaga pengajar. Waktu itu aku dan anak-anak tak bisa ikut, karena situasi yang tak memungkinkan. Aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku sementara anak-anak tak mau pindah sekolah. Akhirnya, kami harus hidup terpisah selama dua tahun.
Mas Bambang pulang seminggu sekali menengok kami yang tinggal di kota. Tapi pernah sampai tiga bulan mas Bambang tidak pulang. Aku sendiri tidak curiga atau menaruh prasangka buruk. Aku percaya mas Bambang akan menjaga kesetiaannya. Aku tak menyadari bila hati mas Bambang yang kesepian di tempat terpencil itu telah tertambat pada seorang gadis desa!
Ketika mas Bambang kembali dimutasi ke kota, aku merasa sangat senang. Kami bisa berkumpul lagi seperti sedia kala. Saat itu aku tak menaruh curiga sama sekali bila suamiku kembali dalam keadaan tidak utuh. Sebagian hatinya telah diberikan pada perempuan lain. Aku tak tahu, apakah aku harus marah, kecewa, sedih, atau bagaimana setelah mendengar pengakuan Sari.
Selama ini bahtera perkawinan yang kami arungi berjalan lancar tanpa pernah ada badai yang mengoyak. Aku mencintai suamiku, begitu pun sebaliknya. Apalagi setelah kami dikaruniai dua orang anak yang manis-manis. Kebahagiaan hidup kami rasanya telah sempurna. Mas Bambang orangnya baik, pendiam, lembut, dan tak pernah menyakiti hati istri maupun anak-anaknya. Banyak perempuan yang iri kepadaku.
Tapi sekarang, dengan kenyataan pahit ini, semua keindahan dalam kehidupan rumah tangga kami seolah sirna seketika. Mukaku seperti tertampar keras. Aku tak tahu, bagaimana harus menyembunyikan aib yang memalukan ini. Bagaimana perasaan anak-anakku bila mengetahui ayah yang mereka puja selama ini menyimpan kebusukan?
 Aku sebenarnya ingin marah dan mencakar muka perempuan ini, tapi aku mencoba menahan diri. Aku tidak ingin terlihat kampungan dan merendahkan diriku sendiri bila berbuat seperti itu. Kemarahanku tidak akan merubah apa yang telah terjadi. Lagi pula, kesalahan ini tidak mutlak terletak pada Sari. Kulihat ia pun memendam beban yang berat. Ekspresi wajahnya menyimpan penderitaan!