Mohon tunggu...
Eko Hartono
Eko Hartono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Freelance

Berbuat yang terbaik dan menjadi pribadi yang baik

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jayadrata

11 Mei 2011   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:51 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Ayo, kita saksikan bersama-sama pembakaran Arjuna! Kita rayakan kemenangan!" Dursasana tak kalah mengobarkan emosi kegembiraan.

"Benarkah semua telah berakhir?" Jayadrata yang masih bingung dengan sorak-sorai di sekelilingnya celingukan seperti orang linglung.

"Benar, Jayadrata! Semua telah berakhir! Lihatlah, langit telah gelap. Matahari telah tenggelam! Kita menang! Kita menaaanggg...!"

Jayadrata termangu-mangu, seperti tak percaya. Tapi langit di atas sana terlihat gelap, wajah matahari tak lagi nampak. Benar saja, siang telah lenyap berganti malam. Sebuah perasaan lega tiada terhingga mendadak meluap dalam dada Jayadrata. Bibir Jayadrata menyungging lebar, tak kuasa menyembunyikan kegembiraan. Dia kemudian larut dalam sorak sorai kemenangan prajurit Kurawa. Benteng hidup yang melindungi dirinya buyar berhamburan oleh keriuhan menyambut kemenangan.

Dari kejauhan Arjuna dan para punggawa Pandawa hanya bisa terpaku memandang kemeriahan di perkemahan Kurawa. Tapi mereka tak terlihat resah atau kecut hati, terutama Arjuna. Ksatria berbudi halus dan bijaksana itu terdiam untuk beberapa saat, seakan membiarkan seterunya di seberang sana menikmati pesta kemenangan. Keyakinannya begitu kuat tertanam dalam jiwanya bahwa kejahatan akan sirna. Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti!

Setelah merasa cukup membiarkan Kurawa mabuk oleh kemenangan, Arjuna lalu menoleh pada Kresna seraya mengirim sebuah isyarat. Kresna mengangguk mengerti. Dengan suatu gerakan khusus Kresna pelahan membelah langit dan memperlihatkan wajah matahari dengan seterang-terangnya. Dengan kesaktiannya Kresna berhasil membuat semacam gerhana yang menyebabkan langit berubah gelap gulita, seolah malam telah tiba. Malam semu inilah yang disambut oleh Kurawa dengan suka cita.

Maka, ketika cahaya matahari tiba-tiba muncul dari balik langit yang gelap, mata para punggawa dan prajurit Kurawa pun terbelalak terpana. Rona pucat dan ngeri memancar pada wajah mereka, terutama Jayadrata. Dan saat ia mendongak ke atas, tampaklah bayangan kematian menderas ke arahnya, meluncur bagai bola api yang jatuh dari langit. Tapi sesungguhnya kilatan cahaya yang datang itu berupa panah api yang amat sangat dikenalinya. Itulah panah api senjata pamungkas Arjuna bertajuk Pasupati!

Sebelum ia sempat bergerak dalam waktu sepersekian detik, kecepatan laju panah Pasupati telah mendahuluinya, menerabas lehernya. Dan sebuah kepala menggelinding ke tanah, mengakhiri jiwanya. Semua yang ada di sekitarnya hanya bisa diam terpana, tak bisa berbuat apa-apa! (*)

Tirtomoyo, 23 Pebruari 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun