Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketiban Ndaru

16 Februari 2019   11:41 Diperbarui: 16 Februari 2019   11:47 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku pamit pulang." Aku berpamitan dengan Zainudin usai ngobrol ngalor ngidul di kedainya."Mau ke kota?" tanya Zainudin yang masih menjabat tanganku.Aku mengangguk. "Aku ikut, ya?" pintanya.


Zainudin pun membuntutiku. Ia mengenakan jaket kulit warna hitam dan sepatu kulit. Kaki yang akrab dengan lumpur sawah kini dibungkus sepatu yang gagah. Mungkin akan banyak perempuan yang meliriknya di alun-alun nanti. Dandanannya keren. Wangi parfumnya pun tercium dari radius sepuluh meter. Tak kalah keren, kumis tipisnya. Alisnya tebalnya mirip ulat bulu yang hampir tabrakan di keningnya, ia tutupi dengan kacamata hitam.


"Lama aku baru ke sini lagi." katanya. Ia menarik nafas cukup dalam.
"Ini tempat favoritku saat menjelang malam begini. Aku banyak menghabiskan waktu di sini." aku menyahutinya.
Aku pun menceritakan berbagai hal ketika Haryanto, kawanku masih bugar. Sering ngopi di alun-alun sekedar mengobrolkan ketidakwajaran yang terjadi saat ini. Yang sangat nyata, kemiskinan yang masih menjadi nomor satu. Padahal, segala potensi kekayaan alam yang melimpah ruah, adalah kekuatan hebat untuk sebuah kemajuan tanpa mengasingkan segala kebudayaan yang ada. Kata 'miskin' seolah sanggup menimbulkan perdebatan batin. Sedang di sini tak sedikit yang bisa makan enak dan tidur nyenyak. Tak sedikitpun aku merasa benar, hakikatnya siapapun yang merasa dirinya benar, sesungguhnya ialah yang paling jauh dari kebenaran. Juga siapapun yang merasa tinggi, sesungguhnya ialah orang yang paling rendah.

Hingga larut malam Zubaidah tak menampakkan wujudnya. Saat aku ngobrol dengan Zainudin, mataku menjelajahi sekitaran alun-alun, berharap temukan Zubaidah untuk kukenalkan dengan Zainudin. Sambil menyeruput teh poci, Zainudin melihat sekeliling alun-alun. Tatapan mata penuh arti. Kacamata hitamnya ia buka, ia gantungkan di antara kerah bajunya. Matanya berbinar seolah menyiratkan jutaan kenangan. Mimik wajahnya tak menampakkan ekspresi. Wajahnya hambar. Aku tak berani menanyakan apapun, kubiarkan ia liar dengan kenangannya. Dengan suara berat setelah saling diam beberapa lama, ia mulai bersuara.


"Di tempat ini..., di tempat ini, dulu aku banyak menghabiskan waktu. Sudah lama ini aku baru kembali lagi," katanya terbata-bata. Suaranya lirih.
"Ya, tentunya setiap orang punya kenangan di suatu tempat. Dan ketika kembali ke tempat itu, kenangan akan menggerogoti otak kita," timpalku.
Ia mengangguk. Hembusan nafas panjang ia keluarkan begitu pelan, seolah mengeluarkan semua beban yang menjadikan ia teringat dengan segala kenangannya. Ia pun mengubah posisi duduknya. Dari bersila. Kini Zainudin menyanggakan tubuhnya di kedua tangannya yang menapak tanah di belakangnya. Ia memandangi langit malam. Matanya seolah tengah menghitung jumlah bintang yang tak beraturan. Ia menghiraukan hiruk pikuk alun-alun yang ramai musik dangdut koplo. Juga nyanyian para pengamen kentrung. Kerlap-kerlip lampu warna-warni sama sekali tak membuyarkan perenungannya. Tak lama, Zainudin menyulut rokok kereteknya. Asap putih menyembul dari mulutnya. Kemudian, mengambang dan tersapu angin. Aku mengamatinya sedari tadi.


"Ada yang bisa kubantu?" tanyaku tiba-tiba. Aku kurang betah dengan suasana begini.
Ia menatapku. "Nggak ada." Ia tersenyum. "Ada yang kau tunggu? Dari tadi gelisah begitu." sambungnya.
"Iya perempuan yang biasanya ke sini nggak ada. Mau aku kenalkan ke Mas Zainudin."
Ia tertawa. "Ada-ada saja."
"Perempuan ini montok, bahenol, euh... buah dadanya perfect. Pokoknya mantap. Kalau lihat mungkin tertarik." selorohku. Ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Bukan lautan hanya kolam susah
Indonesia selalu banyak masalah
Dari kasus KKN sampai narkoba
Dari Maluku sampai malu semua

Bukan lautan hanya kolam susah
Tanah adat terjadi huru-hara
Apa sebab apa sebabnya kenapa?
Katanya rakyat kecil minta merdeka

Orang bilang tanah kita tanah surga
Kok korupsi dan kolusi membudaya
Orang bilang negeri ini reformasi
Masih banyak tikus-tikus berdasi

Ini salah siapa ini dosa siapa
Anda tak bisa jawab, kami geleng kepala
Ayo kita tanyakan sama tukang teh kotak
Apa itu teh kotak, teknologi bodoh dan botak

Lantunan kentrung dinyanyikan seorang bocah kecil yang tiba-tiba berdiri di depanku dan Zainudin yang masih menikmati teh poci. Lagu kolam susu yang digubah jadi lagu kritikan yang memang sedang terjadi saat ini. Tanpa takut bocah itu menyanyikannya lantang. Usai menyanyi ia pun minta uang. Sebelumnya aku memintanya duduk dan bersama menikmati teh poci dan tempe mendoan yang kupesan lagi. Wajarnya anak jalanan yang lusuh tampilannya, ia mengenakan kaos oblong warna merah marun, rambut sang sengaja diwarnai. Namun setelah kuajak ngobrol, rupanya bocah itu sangat santun bertutur kata. Sikapnya tak sesemerawut penampilannya. Ia punya tata krama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun