Seketika, obrolanku dengan Zubaidah menjadi serius. Ia banyak bercerita tentang keluarganya. Namun enggan ia kembali menemui orangtuanya yang kini sudah melarat. Ia masih ingat bagaimana sakitnya. Bagaimana remuknya ketika tak diakui sebagai anak lantaran menikah dengan orang melarat. "Bagaimana pun mereka orangtuamu," kataku mengingatkan.
"Ya suatu saat pasti aku pulang," katanya dengan nada rendah.
"Adikmu, si Ambarwati sekarang lagi hamil. Semasa sekolah dulu aku pernah pacaran dengannya. Tapi karena ayahmu menolakku, hubunganku cuma sebatas itu. Itu sebabnya, ada rasa tersendiri saat aku menyebut nama orangtuamu."
Ia tersenyum. "Nanti aku pulang temui mereka," tutupnya di perjumpaan sore itu.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H