Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zubaidah, Anak Si Juragan Edan

10 Desember 2018   21:17 Diperbarui: 10 Desember 2018   21:24 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang di sekelilingku seolah mensyukuri nasib orang yang terkenal angkuh. Mereka merasa puas lantaran sakit hatinya dibalas kehancuran nasib si juragan kapal yang sombong. Ada pula yang meludahi tanah "Jabang bayi, jangan sampai anak cucuku bernasib seperti Rasjan, wong edan kelalaran."

Tak tahan aku menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana pun aku pernah dekat dengan anaknya, si bontot. Itu dulu, waktu aku masih sekolah. Mentah-mentah aku ditolak keluarganya lantaran aku hanya seorang anak nelayan dan bukan si pemilik kapal. Tentu aku menyadari, di kampung ini memang strata sosial terlalu nampak. Apalagi bapakku dulu pernah ikut kapal juragan Rasjan. Hubunganku dengan si bontot pun diketahui mereka hingga akhirnya berujung putus cinta. Namun kini, ketika aku melihat si bontot yang sudah bunting, tak ada selera apa-apa.

Menjelang senja aku angkat kaki dari peristiwa menegangkan itu. Kembali aku ke alun-alun kota menemui Zubaidah. Rasa kangen hampir sepekan tak berjumpa dengannya. Tak mamandangi payudaranya yang menonjol saat dibalut blazer warna hitam. Ya tentu baru sadar, selama ini semenjak Zubaidah jadi kasir di toko roti, aku selalu memandangi lekuk tubuhnya yang aduhai. Betapa terkejutnya aku, mata mulai jelalatan menjelajahi ujung rambut hingga ujung kaki Zubaidah terlepas sebagai pengemis muda. Mungkin rutin ia minum jamu ramuan singset sari rapet buatan Nyonya Meneer.

"Bu, kupat glabed dua," aku memesan makanan favorit Zubaidah ketika aku sudah bersanding dengannya di pinggiran alun-alun.

Usai melahap sepiring kupat glabed, Zubaidah sendawa di depanku. Kuusap sudut bibirnya, menyisakan bumbu kupat. Saat itu pula Zubaidah menatapku cukup dalam. Selepasnya, ia tersenyum manja. Sesekali ia melempar pandangannya ke arah tak beraturan. Sesekali pula ia melirik nakal. Untung saja Zidan tak rewel ketika aku sedikit romantis dengan ibunya. "Kamu habis ke mana tadi?" Tanya Zubaidah tiba-tiba menggugurkan kemesraan ini.

"Dari rumah. Liputan di tempat dekat."

"Oh, soal apa?"

"Ada juragan kapal yang rumahnya disita."

Zubaidah menatapku tajam. Ia diam cukup lama menyita waktu beberapa menit. Seketika tubuhnya tampak lemas. Matanya yang sebelumnya berbinar menjadi redup. "Itu rumah orangtuaku. Aku baca berita kemarin, akan ada rumah yang bakal di sita," ungkapnya yang tiba-tiba meneteskan airmata.

"Kamu anak si Rasjan? Juragan edan?" Spontan mulutku menyebut ayahnya demikian. Aih, perkataan itu menyembul begitu saja. Aku takut ia marah.

"Tidak apa. Orangtuaku memang banyak yang nggak suka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun