Aku sempat kaget ia menyebut nama Anita. "Dari kedai susu," jawabku.
"Sama Anita?" ia menegaskan kekesalannya. Mimiknya bermuram durja.
"Anita terus yang kamu sebut. Cemburu?"aku beranikan tanya demikian.
"Nggak!"
"Ya sudah kita moci saja. Anakmu mana?"
"Tuh lagi main," jawabnya sembari menujuk ke arah Zidan yang tampak asyik menendang-nendang bola plastik.
Aku memesan teh poci dan tempe mendoan di warung lesehan Mbok Inem, yang berjejer di tepian alun-alun. Ia warung langgananku moci atau ngopi ketika selesai menjelajah pinggiran kota. Harganya lumayan murah, tak seperti di warung lain yang kadang mencekik bagi orang sepertiku yang isi dompetnya pas-pasan. Hanya dijejali kertas-kertas nota kreditan, juga foto keluargaku ukuran 5x7.
Dompetku tak bermerk seperti kawanku. Mulai dari tas, jam tangan, celana, bahkan celana dalam, juga dompet yang mungkin isinya pun lebih banyak lembaran kertas bergambar Soekarno-Hatta. Tentu kau pun paham soal ini. Atau mungkin kau menutup mata, juga kupingmu yang selalu mendengarkan kalimat persaudaraan antara dirimu dan pemegang kendali kerajaan ini. Memang susah diterjemahkan, karena kau begitu licik dan rapi menyembunyikan segalanya. Lebih kerasnya lagi, aku menamai hubunganmu dengannya adalah hubungan kepentingan, antara perut lapar dan rasa aman, tanpa adanya gesekan.
"Apa yang kau pikirkan tentang Anita, Zu?"
"Gimana hubunganmu dengannya?" ia melempar tanya.
"Hubungan apa? Anita belum menghubungi nomor di kertas yang aku berikan tempo hari,"