Mohon tunggu...
Eko Daryono
Eko Daryono Mohon Tunggu... Guru - Blogger

Hidup adalah pilihan, maka pilihlah yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gibran dan Kekuatan Politik Milenial

25 Juli 2020   00:57 Diperbarui: 25 Juli 2020   01:35 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran Rakabuming Raka (Solopos.com)

Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Bukan karena bisnisnya, namun keputusan terjun ke dunia politik. Sosok Giran sebelumnya tak lebih dari seorang milenial yang terbilang sukses menjalankan usaha bisnisnya. Berbekal latar belakang sebagai pebisnis, membuat banyak kalangan ragu akan kemampuan Gibran dalam dunia politik.

Apakah memang sedang terjadi transisi perpolitikan dari generasi tua ke generasi mulenial? Ataukah Giran tak lebih memanfaatkan nama besar sang ayah? Ataukah memang kekuatan politik milenial Girabn memang patut diperhitungkan? Mari kita simak ulasannya.

Apabila dianalisis secara mendalam, saat ini memang sedang terjadi perubahan peta perpolitikan seiring perkembangan zaman.

Dunia politik selama ini selalu dikaitkan dengan generasi baby boomers dan generasi Z atau para senior, karena kebanyakan politikus adalah para senior dari sisi usia maupun pengalaman. Namun paradigma itu mulai bergeser perlahan-lahan saat anak-anak muda mulai diperhitungkan sebagai "pemberi arah baru" demokrasi.

Pada kancah internasional, pemimpin berusia muda mulai bermunculan dan menjadi magnet tersendiri. Berbagai negara bahkan dipimpin oleh para pemimpin muda seperti Austria, Estonia dan Ukraina.

Pada kancah nasional, anak-anak muda juga mulai dipercaya oleh Presiden Joko Widodo untuk mengisi jabatan menteri seperti Nadiem Anwar Makarim (Mendikbud) serta tujuh staf khusus presiden dari kalangan milenial. Keterlibatan pada milenial tersebut menjadi awal lahirnya tatanan baru dalam bidang pemerintahan yang tentunya tidak lepas dari fenomena politik.

Berbicara mengenai kelompok milenial, memang potensi kelompok tersebut dalam percaturan politik layak diperhitungkan. Tak heran jika para politisi berupaya menggarap secara serius kelompok milenial ini. Salah satunya adalah hasil survey LIPI tahun 2018 yang menemukan bahwa sekitar 35-40 persen pemilih untuk perhelatan Pemilu 2019 adalah kelompok milenial.

Namun keterlibatan kelompok milenal tersebut tidak sebatas sebagai pengguna hak pilih, namun juga hak untuk dipilih. Hal itu mulai nampak saat Agus Harimurti Yudhoyono dan Sandiaga Uno ikut berkompetisi dalam kancah Pilgub DKI.

Itulah momentum dimana kelompok milenial tidak hanya sebatas sebagai penonton tapi aktor dalam percaturan politik. Kondisi tersebut tampaknya dibaca oleh Gibran yang mencoba menunjukkan eksistensinya sebagai calon pemimpin mewakili kaum milenial.

Dikatakan demikian karena Gibran yang lahir tanggal 1 Oktober 1987 memang masuk generasi milenial atau generasi yang lahir setelah tahun 1980.

Awalnya, keputusan Gibran untuk ikut berkompetisi dalam bursa bakal calon walikota Solo 2020 memang mengejutkan politik tanah air terlebih di kalangan internal DPC PDI Perjuangan Kota Solo. Sebagian kalangan menilai keputusan tersebut merupakan bentuk "inkonsistensi", "aji mumpung", hingga "dinasti politik".

Sikap inkonsistensi muncul dari sikap Gibran yang dianggap pernah tidak menggunakan hak pilih, namun sekarang minta untuk dipilih.

Aji mumpung karena saat ini sang ayah menjabat sebagai presiden yang secara popularitas dan power mumpuni untuk memudahkan jalan Gibran. Kebesaran nama Jokowi akan memudahkan Giran membranding dirinya sebagai cawalkot. Termasuk bagaimana PDIP memberikan red carpet kepada Gibran yang baru 10 bulan menjadi anggota partai atau tanpa kaderisasi dari tingkat bawah.

Bahkan Gibran mencatatkan sejarah baru untuk kali pertama melakukan pendaftaran calon bupati/calon wali kota langsung melalui Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP.

Dinasti politik tentunya tidak lepas dari kedudukan sang ayah yang pernah menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI, dan sekarang Presiden RI dua periode. Orang tentu berasumsi, saat ini Jokowi sudah berada di periode kedua menjabat sebagai pemimpin. Asumsinya "the next generation" dari estafet kepemimpinan tersebut jikalau bisa tetap berlanjut.

Sebagian kalangan yang lain menilai sah-sah saja Giran mencalonkan diri karena itu merupakan hak setiap warga negara. Siapapun patut diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Orang boleh meragukan Gibran yang "mendadak politik".

Namun berkaca pada sejarah, di era millennium ini banyak pemimpin muda yang sukses menjadi politikus hingga akhirnya menduduki jabatan sebagai pemimpin sebuah negara.

Catat saja nama Sebastian Kurz, Juri Ratas, dan Volodymyr Groysman. Sebastian Kurz (Kanselir Austria), saat berusia 27 tahun sudah menjadi Menteri Luar Negeri.

Juri Ratas (Perdana Menteri Estonia) saat berusia 27 tahun sudah menjadi Wali Kota Tallin dan mengantarkan kota tersebut meraih European Green Capital. Volodymyr Groysman (Perdana Menteri Ukraina), saat berusia 28 tahun juga berhasil menduduki jabatan Wali Kota Vinnytsia.

Sejarah tersebut memunculkan rasa optimisme terhadap Gibran apabila kelak terpilih sebagai Walikota Solo. Meski berbeda bidang, kemimpinan Giran mestinya tidak perlu diragukan lagi. Berbekal pengalaman manajerial pengelolaan Chilli Pari dan waralaba Markobar selama hampir 10 tahun bisa menjadi alasan terasahnya kepemimpinan Gibran.

Lulusan Orchid Park Secondary School (Yishun, Singapura) dan Management Development Institute of Singapore tersebut juga memiliki modal "warisan" dari sang ayah yang pernah menjadi Walikota Solo dan pernah mengelola kota sekompleks DKI Jakarta saat menjadi gubernur. Referensi sang ayah tentu akan menjadi modal yang sangat berharga.

Menilik kondisi yang berkembang saat ini, kekuatan politik milenial seorang Gibran saat ini memang di atas angin. Ada lima hal yang melandasi kekuatan tersebut.

Pertama, hampir semua partai politik yang memiliki kursi di DPRD Solo (kecuali PKS yang belum memutuskan) sudah memberikan dukungan kepada Gibran.

Padahal dengan dukungan loyalis dan grass root PDI Perjuangan Kota Solo saja (yang memiliki 30 kursi di DPRD), rasanya jalan Giran menduduki Solo 1 tidak akan banyak menemui kendala. Terlebih Kota Solo memang dikenal sebagai kandang banteng yang dikenal sangat loyal. Hal itu menunjukkan betapa kuatnya posisi Gibran saat ini.

Kedua, berdasarkan data KPU Kota Surakarta yang pernah disampaikan Nurul Sutarti (Ketua KPU Solo) dalam sebuah forum diskusi pada Maret 2019, bahwa sekitar 40 persen warga Kota Solo yang sudah mempunyai hak pilih adalah generasi milenial.

Potensi tersebut setidaknya sudah diserap oleh Gibran dengan daya tariknya melalui bisnis yang selama ini dikenal sangat milenal dan menjadi harapan baru bagi tumbuhnya perekonomian di Kota Solo. "Aksi berani" Gibran mendobrak tatanan dalam mekanisme pendaftaran bakal calon pemimpin daerah di lingkup PDI Perjuangan, juga diapresiasi generasi milenial (terlepas dari statusnya sebagai anak Presiden).

Ketiga, sosok muda memang diharapkan muncul dalam perhelatan Pilkada sebagai pendobrak kondisi politik yang cenderung stagnan. Para elite politik dipandang masih sibuk dengan urusan rumah tangga partainya sendiri tinimbang kepentingan rakyat banyak.

Gibran sebagai generasi milenial, diharapkan memiliki cara berpikir yang berbeda. Menyimak pernyataan Gibran jelang pendaftaran sebagai bakal calon Walikota Solo menunjukkan sosok yang visioner. Cita-citanya agar Kota Solo melompat lebih maju mengindikasikan bahwa Gibran memahami apa yang harus dikerjakannya bila akhirnya terpilih menjadi walikota. Dengan pengalamannya dalam memperkenalkan produk bisnisnya, rasanya tidak sulit bagi Gibran untuk memperkenalkan potensi Kota Solo ke segmentasi internasional.

Keempat, sebagai generasi yang belum memiliki hutang politik masa lalu, rasanya Gibran akan mudah mengekspresikan dirinya untuk mewujudkan Kota Solo yang lebih maju. Hutang politik inilah yang kadang menjadi penyandera dalam penyelenggaraan aktivitas politik.

Sebagai generasi milenial yang umumnya lebih familiar dengan perkembangan teknologi, rasanya Gibran juga akan lebih adaptif dalam membuat kebijakan nantinya.

Kelima, tampaknya para senior partai mulai memikirkan strategi untuk mengoptimalkan dukungan suara generasi milenial dengan cara menunjuk para pemimpin muda dari internal partai tersebut sebagai magnet. Pada kenyataanya langkah tersebut dinilai cukup berhasil seperti halnya keterpilihan para pemimpin negara yang sudah disebutkan sebelumnya.

Keputusan DPP PDI Perjuangan yang akhirnya memberi rekomendasi pada Gibran (yang tidak mengikuti mekanisme pendaftaran dari DPC), menunjukkan adanya upaya partai untuk melakukan rejuvenasi secara cepat. Rejuvenasi tidak hanya menyangkut aspek pola pikir namun juga proses rekrutmen calon pemimpin

Hal itu didasarkan pada kenyataan cepatnya arus informasi dan teknologi yang harus dihadapi secara cepat. Langkah "pemotongan kaderisasi (generasi)" dipandang oleh partai perlu dilakukan agar regenerasi ke depan dapat berjalan lebih. Pada aspek inilah Gibran dianggap memiliki posisi tawar yang tinggi dalam rangka mewujudkan rejuvenasi di tubuh partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun