[caption id="attachment_325741" align="aligncenter" width="614" caption="Kali: Pertunjukan Seni Lintas Disiplin | Photo by Facebook Page Kali"][/caption]
Kombinasi antara seni tari kontemporer dan visualisasi obyek digital di latar belakangnya yang dibalut dengan eloknya permainan sorot lampu dan gelitik musik yang di telinga awam saya terdengar seperti "rock-karawitan" berbumbu cengkokan "rap" di sana-sini, barusan memukau saya. Belum pernah saya menyaksikan pertunjukan model begini, terus terang, sehingga pada mulanya saya tidak tahu ke mana mata saya harus berfokus: apakah pada pertunjukan tarinya di latar depan ataukah pada obyek digital yang divisualkan di latar belakangnya, mengingat keduanya eye-catching — tapi ketika saya memutuskan untuk melihatnya sebagai satu kesatuan, hasilnya adalah spektakuler.
Berada di antara penonton sayap kanan panggung, ketika adegan banting kendi saya mendengar beberapa orang bergumam tidak mengerti apa makna dibalik gemulainya gerakan kontemporer itu, demikian pula saya bertanya-tanya makna filosofisnya, tapi rupanya justru itulah esensinya: penonton dipersilahkan menginterpretasikan sendiri tari bertemakan puisi filsuf William Blake tersebut. Buat saya pribadi keseluruhan pertunjukan itu sendiri sudah terlalu memukau untuk ditinggal berpikir tentang makna gerakan-gerakan abstrak, maka sikap saya adalah nikmati saja mumpung gratis.
[caption id="attachment_325742" align="alignnone" width="600" caption="Kali: Pertunjukan Seni Lintas Disiplin | Photo by Facebook Page Kali"]
Antusiasme penonton tampak bukan hanya dari tepuk tangan, tapi juga kesediaan mereka yang berdiri di belakang untuk merangsek ke depan mendekati panggung ketika permainan lampu meredup, untuk melihat lebih jelas apa yang terjadi. Pertunjukan digelar di halaman Kantor Terpadu Kecamatan Cangkringan, Argomulyo, Sleman, Yogyakarta, pada tanggal 1 Maret 2014 dalam rangka memperingati 25 tahun berdirinya Australia Indonesia Institute, berjudul Kali: Pertunjukan Seni Lintas Disiplin (Inter Diciplinary Art). Warga desa lereng gunung Merapi itu pun terlihat bersemangat.
"Seni lintas disiplin adalah pemaduan beberapa genre seni ke dalam satu formasi dan komposisi baru pula," kata Director Bambang N Karim dalam konferensi persnya tentang rencana pergelaran karyanya bersama sejumlah pejabat Kabupaten Sleman, sebagaimana disampaikan melalui website resminya http://www.kaliproject.net Dalam website itu Bambang, seniman yang sudah lama bermukim di Australia, berkata bahwa kata Kali, meskipun bersumber dari Jawa yang berarti sungai, dalam konteks seni bisa berarti apa saja, terserah yang menginterpretasikannya, sehingga tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Sebagai sebuah karya Kali berpegang pada konsep William Burke tentang pentingnya oposisi, seperti Ying terhadap Yang, seperti malam terhadap siang, dengan prinsip without contraries there is no progression: tanpa ada kekuatan yang berlawanan (oposisi) tidak mungkin ada kemajuan.
[caption id="attachment_325743" align="aligncenter" width="614" caption="Kali: Pertunjukan Seni Lintas Disiplin | Photo by Facebook Page Kali"]
Undangan saya terima beberapa hari sebelumnya melalui Facebook Group KAGAMA di mana Bambang N Karim dan semua personil Kali juga menjadi anggotanya. Melalui Facebook pula saya setelah sampai di rumah memberinya ucapan selamat atas suskesnya pergelaran buah karyanya itu sambil berharap menerima undangan lagi untuk pertunjukan berikutnya. Melibatkan teknologi tinggi visualisasi digital, lapangan terbuka, hampir seratus pekerja seni, aparat keamaan, perwakilan pemerintahan setempat, dan penggalangan dana yang sukses diatasi dengan saweran dan jual merchandise, tidaklah mudah.
"Ya. Kita berencana untuk membawanya tour dan menawarkan kepada investor dan produser untuk bisa membawanya ke berbagai kota," respon sang Director Bambang N Karim.
Selamat bro dan lanjutkan perjuangan kalian, without contraries there is no progression!
Salam Kompasiana — Eko Armunanto
Baca Juga:
- Kenapa Jogja Istimewa – Mengenang Serangan Umum 1 Maret 1949
- Anggito Effect: Mati Ketawa ala Konyolis UGM
- Mendukung Anggito: Bukan hanya Berubah menjadi Borjuis, UGM juga Berubah Menjadi Aliran Sesat?
SEKILAS INFO:
Bagi anda yang belum mengenal saya, perkenalkan nama saya Eko Armunanto. Saya tergabung di Kompasiana sejak 22 Agustus 2012. Selama bergabung di sini saya baru menghasilkan puluhan artikel saja sebab saya lebih banyak menulis (lebih dari 200 artikel sejak 5 Juli 2012) untuk media online Kanada Digital Journal.
Perlu juga diketahui, barangkali bagi yang kepingin tahu, bahwa status saya di sini belum terverifikasi. Saya belum menyerahkan soft copy kartu identitas. Kalau anda penasaran apakah saya ini manusia beneran atau abal-abal silahkan kunjungi saja akun Facebook saya, di sana anda bisa melihat data saya selengkapnya, mulai dari profesi, di mana saya tinggal, hingga nomor ponsel, BBM, Whatsapp, Email, dan Website Pribadi.
Ada juga cara mudah lain untuk mendeteksi keberadaan saya, silahkan menemui Eyang Google dan sebut nama saya di sana, nanti pasti Eyang kasih tahu letak kamar saya di The Guardian (sejak Mei 2012), Huffington Post (sejak September 2010), AllVoices (sejak Desember 2013), dan Yahoo Contributor Network (sejak Oktober 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H