Sore yang gersang. Angin kemarau bertiup kencang. Debu beterbangan mengiringi deru motorku meninggalkan sebuah gedung di kotaku tempat berlangsungnya kegiatan sastra. Kutarik gas motorku menembus keramaian sore itu. Aku harus bergegas ke rumah. Aku belum melaksanakan kewajibanku, sholat ashar.
Namun, laju motorku harus tertahan di lampu merah. Saat motorku berhenti tepat di belakang sebuah mobil, tiba-tiba ada sebuah motor berhenti tepat di sebelah kiriku. Pandanganku tetap menatap ke depan. Hidungku mencium aroma wangi melati. Aku jadi teringat sesuatu. Teringat seseorang yang pernah mengisi hidupku. Saat memoriku belum mencapai sebuah kesimpulan, tiba-tiba ada suara memanggiku,
“Mas Ari, Mas Ari….!”
Aku mencari sumber suara itu dan ternyata berasal dari motor di sebelahku. Kubuka kaca penutup helm dan memandang wajahnya. Seorang wanita berjilbab, dengan mata sipitnya, dan alis yang hitam berbaris rapi.
“Mas Ari, aku Mey-Mey, masih ingat nggak?”
Antara kaget dan tidak percaya, memoriku mulai merajut benang-benang peristiwa masa laluku.
“Mey-Mey..!” pikirku dalam hati. Mey-Mey adalah cinta pertamaku ketika mahasiswa dulu. Kami harus berpisah karena berbeda keyakinan. Tapi, bukankah Mey-Mey tidak berjilbab? Apa aku tidak salah lihat?
Mey-Mey memberi kode agar motorku menepi mengikuti motornya yang terlebih dahulu menuju ke bawah rindangan sebuah pohon. Aroma melati dari parfum khas Mey-Mey yang selalu aku rindukan, menari-nari di depan hidungku. Aroma yang membawaku ke masa silam, penuh air mata dan canda tawa.
Ketika Mey-Mey membuka helmnya, aku benar-benar yakin bahwa dia itu Mey-Mey. Hidungnya, matanya, alisnya, bibirnya, dan hmmm…. bau parfumnya yang melati itu membawaku ingin menjalin lagi kisah-kisah lamaku.
“Mas Ari, aku Mey-Mey, masih ingat nggak? Pasti mas Ari pangling ya lihat Mey-Mey. Mas, Mey-Mey sudah mualaf, sekarang nama Mey-Mey menjadi Maimunah, Mas.”
“Iya, Mey eh Maimunah, mas sampai pangling lihat kamu sekarang. Gimana ceritanya sampai kamu jadi mualaf?” tanyaku penasaran.