Setiap orang sudah tidak asing kalau dikatakan atau diucapkan kata “belajar”, baik itu ia seorang pelajar atau mahasiswa maupun yang bukan, baik itu orang tua ataupun muda, miskin atau kaya, semua akrab dengan kata belajar.
Namun tidak semua orang memahami makna dari belajar, sehingga persepsi dan pemahaman kata belajar dapat saja berbeda. Sebagai sebuah contoh siswa kelas XI SLTA ditanyakan apa arti dari belajar?, banyak yang tidak bisa menjawab !.
Mari Bersama-sama kita khususnya para guru memberikan pemahaman yang jelas terang benderang kepada siswa sebelum memulai Proses Belajar Mengajar yang mengarah kepada mata Pelajaran yang diampu, apa itu arti, tujuan, dan cara belajar !.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman”.
Dari sekian banyak arti belajar, saya cenderung mengambil apa yang menurt W. S. Wrinkle, Psikologi Pengajaran, (Jakarta : Grasindo, 1996), hlm. 53) Belajar adalah mencari informasi atau pengetahuan baru dari sesuatu yang sudah ada di alam dan sekitar. Belajar akan membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar, atau lebih sederhananya arti belajar adalah usaha seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa.
Sehingga dengan usahanya ini maka seseorang yang mengalami proses belajar akan memiliki level transformasi atau tingkatan perubahan yang berbeda dalam pencapaiannya.
Pada level pertama ia akan memperoleh tingkatan mengetahui (sekedar tahu), biasanya orang yang hanya sekedar tahu misal “informasi baru” yang diperolehnya maka ia tidak terlalu menanggapi atau merespon informasi tersebut.
Pada level kedua seseorang dengan usahanya melakukan proses belajar, ia akan lebih daripada level pertama, yakni “memahami”. Memahami sebuah informasi seseorang akan lebih memaknai informasi baru yang diterima, merespon dengan aktif. Mungkin saja sampai pada titik ia “harus“ bertanya dan menyimpulkan informasi tersebut. Penyampaian kembali informasi ini kepada pihak lain oleh seseorang yang paham akan lebih menarik dengan berbagai metode penyampainya.
Level ini juga dapat dikatakan seseorang yang “pintar”, yakni orang yang mampu mencerna apapun dengan sempurna sehingga memiliki pengetahuan yang sangat luas, dan pengetahuan tersebut lah yang menjadi senjata utamanya. Pintar, membutuhkan proses untuk memahami suatu hal terlebih dahulu dengan jangka waktu tertentu. Orang pintar hanya bisa menjawab hal-hal yang telah dipelajari.
Sedangkan level ketiga adalah level “cerdas” dalam belajar, kecerdasan adalah kualitas bawaan dan sifat yang diperoleh kualitas yang melekat, Kualitas bawaan dan sifat yang diperoleh Orang cerdas juga dikenal akan disiplin dan teratur, sehingga ia selalu mampu mengerjakan setiap hal yang diperintahkan sekaligus berusaha untuk menghindari hal-hal yang mendatangkan kerugian.
Sebuah pelajaran faktual dari lawannya cerdas (bodoh) yang dapat kita jadikan sandaran. Pada zaman Rasullah SAW ada seseorang yang bergelar sebagai Abu Jahal (bapaknya kebodohan).
Dari literatur yang diketahui bahwasanya Abu Jahal bukanlah seseorang yang tidak memiliki ilmu. Nama aslinya adalah Amr Ibn Hisham, namun dulu dikenal sebagai sebagai Abū al-akam atau bapak kebijaksanaan. Ia merupakan seorang yang cerdas, fasih berbicara, bijaksana, dan berpengaruh di masyarakat.
Ternyata, semua hal-hal baik dalam diri Abu Jahal tidak mampu menghindarkannya dari kesombongan sehingga enggan menerima kebenaran Islam yang sebenarnya. Orang yang “Bodoh” bukanlah orang yang tidak memiliki ilmu, justru karena ilmu yang dimilikinya tersebutlah ia disebut sebagai orang bodoh dengan sebab tidak melaksanakan atau menerapkan ilmu yang telah ia peroleh untuk mencapai tujuan kebaikan, keuntungan, kebermanfaatan, kemaslahatan, dan sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H