Bak seorang komentator sepak bola, mulut saya tak henti bicara. "Jadi begini ustadz. Ada dua hal yang ingin saya tekankan."
Lawan bicara saya adalah imam masjid di dekat rumah saya. Dia tekun menyimak. Dia taruh HP nya dan menoleh sebentar ke saya. Lalu menunduk.
Yang pertama, di dalam ceramah ustadz, harus disampaikan ke jemaah bahwa keadaan sekarang sudah berubah. Tata kelola kehidupan telah berubah total.
Bak seorang dosen saya menceramahi sang ustadz. Tanpa perlawanan saya lanjutkan tekanan saya.
Jadi, ustadz harus bisa mengajak jemaah untuk senantiasa tabayyun. Kalimat itu baru saja saya temukan melalui google. Artinya kroscek.
Jangan dengan gampang melakukan kerajinan tangan. Jari jemari harus dikontrol. Jangan main sar ser nggak jelas. Pastikan sumbernya jelas. Valid.
Saya menggeser duduk, lebih mendekat sang ustadz. Kepala sang ustadz makin menunduk. Sangat takzim. Ciri-ciri orang berilmu. Sedikit bicara, banyak mendengar.
Saya ingat ketika menghadap dosen pembimbing dulunya. Kepala ditekan serendah mungkin. Sesekali mengangguk tanda setuju. Padahal tak sepenuhnya paham.
Yang kedua ustadz. Sekarang kita hidup dalam era baru. Namanya new normal. Pasti ustadz belum tahu itu selidik saya. Sangat jumawa.
Ya Allah itulah salah satu kebodohan terbesar dalam hidup saya. Sok tau, sok benar dan suka menganggap diri ini jauh lebih paham.
Padahal kebodohan seperti ini tak perlu dicontohkan. Tak perlu dilestarikan.