Hanya bergema lemah di dalam masjid. Tapi cukup untuk menciptakan atmosfir lebaran. Siapapun yang duduk di atas sajadahnya pasti merasakan nuansa berbeda.
Pikiran saya melayang jauh ke jalur Gaza, atau ke daerah perang lainnya. Begini rasanya sholat dalam kondisi tertekan.
Air mata masih merebak. Saya menyimak dengan baik surat Al Fatihah yang dibacakan imam.
Kok kita jadi begini ya. Pandemi Covid-19 ini sangatlah ganas. U
Sudah lebih seribu orang wafat karenanya.
Mental jemaah jatuh. Kita berdebat sengit. Masjid tentu menjadi sasaran utama. Masjid tempat orang berkumpul. Lima kali sehari.
Ditambah salam sambil cipika cipiki lengkap sudah. Stigma harus dilekatkan. Aktivitas masjid harus dibatasi.
Lalu siapa yang bisa menahan rindu jemaah yang ingin merunduk sedalam-dalamnya. Mencium lantai masjid. Meneriakan ucapan aamiinn secara bergemuruh?
Tak ada rindu yang lebih dahsyat daripada itu. Tapi akal sehat tetaplah dikedepankan. Protokol kesehatan harga mutlak.
Sesama jemaah dengan berani saling menegur hingga meminta pulang jemaah yang tak membawa sajadah atau masker. SOP harga mati.
Doa-doa pun dilantunkan. Jangan sampai jatuh korban. Yang merasa tidak sehat diminta untuk tidak ke masjid.
Saya pun demikian. Merasa kurang fit saya urunkan untuk datang. Terkadang bercampur antara malas dan tak enak badan. Dari 30 malam ramadhan saya hanya dapat 7 kali saja tarawih. Sisanya saya laksanakan di rumah.