Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daun Jingga Bulan Mei

12 Mei 2022   18:30 Diperbarui: 12 Mei 2022   18:32 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daun Jingga bulan mei dokpri

Daun Jingga bulan mei, jadi sisi romantis saat kau hadir pagi itu. Udara sejuk bertiup, menyapa cantiknya dirimu. Hari hari yang melelahkan, menunggu yang menjemukan. Dan pengertianmu jadi jawaban.

Bukti memang jadi pertanyaan. Kapan? Mana? Belum lagi kekhawatiran yang sulit dijabarkan. Tapi pahami jika aku itu apa adanya. Tak ada yang kusembunyikan. Jika Ada ya bilang ada. Jika Tak ada, Yo, memang tak ada. Tak perlu konflik, karena kita bukan cinta ABG lagi.

Dari jauh sudah kau lihat dirimu. Lima menitan kau berteduh dipohon berdaun jingga itu. Kau mulai tampak resah sambil memandangi layar smartphonemu.

Kau memang enggan datang kekediamanku. Akupun kau tolak untuk bertandang ke rumahmu. Aku berusaha memahami kenapa. Memang jahat apa kata para tetangga itu.

Antisipasi fitnah saja. Jujur tak semua orang suka kita jadian. Kaupun akan enggan menjawab kapan kita resminya. Seolah ini hubungan terlarang, atau entahlah apa versi kata mereka. Jelas jelas sangat membagongkan.

"Kok lama sih?" Tanyamu saat aku mendekat. Kupegang tanganmu dan tak kulepaskan. Mata menatap mata. Tiba tiba kau kibaskan tanganmu, hingga pegangan kita terlepas. "Malu, dilihatin orang," bisikmu.

Pagi itu dia kuajak jalan kaki saja. Jika biasanya kita kemana mana pakai motor, kali ini kutawari dia berdua jalan kaki. Ya, itung itung olah raga. Biar tubuh sehat.

Sejenak masih silang pendapat mau kemana. Masih belum mau meninggalkan pohon  berdaun jingga itu. Sepakat jalan kaki, tapi belum sepakat mau kemana. Kalau aku ngikut saja.

Akhirnya kita menyeberang jalan. Kita telusuri saja jalanan ini sambil terus berbagi curahan hati. Sebenarnya aku ingin kita bergandeng tangan, tapi kau tak pernah mau. Tak apalah, yang penting kau sudah mau datang dan janjian dibawah pohon daun jingga di bulan Mei ini.

Kita tak sedang cari masalah. Juga tak mau membahas masalah. Yang dahulu, biarlah jadi misteri kemarin. Sekarang adalah aku dan kamu. Mari bersama, untuk selamanya.

Kita memang jarang bertemu. Chatpun jarang. Karena kau hanya kirim gambar jempol untuk tulisan panjang di WhatsApp. Begitulah caramu, dan bagitu itu simple. Karena memang sudah tak ada yang kau pertanyakan.

Kamipun terus berjalan. Menyusuri jalanan pagi itu. Jika nuruti bertengkar, Yo pasti meledak. Bagaimana tak marah, hidup butuh modal. Dan modalnya macet. Usahanya kembang kempis. Seperti pohon daun jingga. Akan luruh saat musim badai pancaroba tiba.

Kita memang bahas untuk segera saja. Nekad. Toh, dipikir nunggu apa. Semua hari baik. Tapi kita tak mau gegabah. Soal itu gampang, tapi setelah itu tinggal dimana? Rasanya bodoh banget, jika untuk tempat tinggal saja tak jelas alamatnya.

Dan kau tahu apa alasan dari kesulitan ini. Pengertianmu adalah segalanya. Dan dengan pilihan ini, terpaksa mengorbankan waktu. Membuang hari hari dengan kisah perjuangan.

Aku memang cerita, ini rencana demi rencana. Walau normal, jelas mempertanyakan kelambatan. Tapi sejak awal aku bilang, bahwa ini perjuangan berdua. Walau kau tak melakukan apa apa, tapi doamu akan diijabahi penguasa langit. Kelak lelah kita menunggu pasti terjawab. Hasil tak akan ingkari perjuangan. Dan itu ada aku dan kamu.

Tak terasa sejam lebih berjalan hingga kembali ke bawah pohon berdaun jingga. Kau sudah memesan angkutan online. Mobil putih itu tak berapa lama muncul, dan kau meninggalkan aku sendiri.

Inilah kisah jalan jalan pagi ini. Menyatukan perbedaan jadi tujuan. Tak ada janji janji manis, yang ada kesepakatan. Sebuah pengertian bahwa hidup ini harus diperjuangkan. Tanpa mengeluh. Karena kelak, pasti terbayar. Dan tak ada yang lain yang akan protes, karena yang menangis dalam penantian ini aku dan dirimu.

Malang, 12 Mei 2022
Ditulis oleh Eko Irawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun