Kita memang jarang bertemu. Chatpun jarang. Karena kau hanya kirim gambar jempol untuk tulisan panjang di WhatsApp. Begitulah caramu, dan bagitu itu simple. Karena memang sudah tak ada yang kau pertanyakan.
Kamipun terus berjalan. Menyusuri jalanan pagi itu. Jika nuruti bertengkar, Yo pasti meledak. Bagaimana tak marah, hidup butuh modal. Dan modalnya macet. Usahanya kembang kempis. Seperti pohon daun jingga. Akan luruh saat musim badai pancaroba tiba.
Kita memang bahas untuk segera saja. Nekad. Toh, dipikir nunggu apa. Semua hari baik. Tapi kita tak mau gegabah. Soal itu gampang, tapi setelah itu tinggal dimana? Rasanya bodoh banget, jika untuk tempat tinggal saja tak jelas alamatnya.
Dan kau tahu apa alasan dari kesulitan ini. Pengertianmu adalah segalanya. Dan dengan pilihan ini, terpaksa mengorbankan waktu. Membuang hari hari dengan kisah perjuangan.
Aku memang cerita, ini rencana demi rencana. Walau normal, jelas mempertanyakan kelambatan. Tapi sejak awal aku bilang, bahwa ini perjuangan berdua. Walau kau tak melakukan apa apa, tapi doamu akan diijabahi penguasa langit. Kelak lelah kita menunggu pasti terjawab. Hasil tak akan ingkari perjuangan. Dan itu ada aku dan kamu.
Tak terasa sejam lebih berjalan hingga kembali ke bawah pohon berdaun jingga. Kau sudah memesan angkutan online. Mobil putih itu tak berapa lama muncul, dan kau meninggalkan aku sendiri.
Inilah kisah jalan jalan pagi ini. Menyatukan perbedaan jadi tujuan. Tak ada janji janji manis, yang ada kesepakatan. Sebuah pengertian bahwa hidup ini harus diperjuangkan. Tanpa mengeluh. Karena kelak, pasti terbayar. Dan tak ada yang lain yang akan protes, karena yang menangis dalam penantian ini aku dan dirimu.
Malang, 12 Mei 2022
Ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H