Fiksiku tergugah. Siang malam kuhadir untukmu. Melihat dunia ventilasi. Menangkap ide ide. Yang akan hadir lewat udara.
Angin sepoi Sepoi. Sejuk terasa. Mengirim sinyal hidup. Kabar dari negeri angin. Pesan semesta untuk kutulis.
Tapi jangan kirim badai. Aku sudah lelah bertarung dengannya. Luluh lantak hidupku. Terpenjara dalam asa. Hanya menunggu sepi berakhir.
Malam ini aku jauh darimu. Aku tak mungkin menunggumu sepanjang waktu. Karena ada asa yang kukejar. Cita cita dan bukti hasil. Saatnya nanti.Â
Suatu hari aku akan berpisah denganmu. Tapi ceritamu abadi. Tersimpan dalam kisah kisah. Tentang Dunia ventilasi.
Renungan malam disela hujan. Menunggu yang tak terang terang. Dunia air bersenandung ditengah malam. Menambah syahdu renungan. Tentang hidup yang terhenti. Terdiam dalam ruang sempitmu.
Lembar catatan memori. Berputar dalam bait bait kisah. Hidup yang lain melangkah. Hidupku terpenjara resah. Dengan modal apa kesana. Ending dari pesan sang bayu.
Tubuh butuh udara untuk hidup. Sang Bayu yang memompa paru paru. Sinergi kecerdasan semesta. Sumbangsih dari negeri angin. Bahwa hidup harus terus bergerak.
Seperti awan berarak. Membawa mendung. Menyiram bumi. Menumbuhkan tumbuhan dan hijau dedaunan. Kecerdasan semesta. Kaca benggala pada egoisnya jiwa manusia.Â
Ego ini kadang melawan semesta. Sok mengatur atur. Sok pintar. Kadang mendzolimi sesama. Sekali saja, tak mau belajar. Apalagi merenungi ayat ayat kauniahmu duhai Illahi.
Dunia ventilasi. Melihat sisi hidup. Berkaca pada kemungilan. Ternyata kita lupa. Makna tersirat. Tersurat. Dalam jejak tetumbuhan. Hikmah yang tersembunyi.
Renungan jiwa sepi. Bicara pada sang bayu. Hembuskan pesan. Bahwa aku sudah lelah. Datanglah keajaiban. Agar lembar selanjutnya itu adalah....
Sebuah asa tentang Perubahan. Tak ini ini saja. Bosan. Mengeluh dalam tangis kekurangan. Kesedihan. Bukalah pintu keajaiban. Agar kecambah cinta tumbuh. Meniupku pergi menuju bahagia.
Disana, yang normal itu berpasangan. Berdua dalam kasih. Sementara aku ini dihakimi fitnah jahat. Jujur ada yang senang melihatku tersiksa. Bicara sendiri dengan angin. Di dunia ventilasi.
Agar aku gila. Jadi lelaki sinting. Sihir bangsat telah merusak hidup ini. Dengan mantra sembur suwuk. Yang menghipnotis orang tak salah, agar kena azab setingan.Â
Jika aku dimakan sang kala. Aku hancur dalam ketidakberdayaan. Itu tujuan mulia para pecundang. Yang mau enak, tanpa usaha. Dan aku dicap tak waras. Lalu aku dirampok. Dihabisi. Punyaku direbut. Diinjak injak. Agar kapok. Dan berakhir dengan hanya bisa mengintip dari celah sempit. Dunia ventilasi.
Kelak aku akan pergi dari dunia ventilasi. Kan kubuka jendela dunia. Agar mata para bangsat itu, terbuka. Siapa munafik sejati. Karena keadilan itu nyata. Milik mereka yang mau berjuang.
Dunia ventilasi. Dunia awal pembuka. Langkah pertama untuk aksara cerpenku. Silahkan tertawakan diriku. Aku tak minta mbadog dirimu. Sementara kau mbadog saja merusak rumah tangga orang. Mbisiki jahat. Sungguh mulia dirimu. Dipuja para iblis. Sungguh serigala ngaku alim.Â
Aku pasrahkan dirimu. Pergilah. Pergi yang jauh. Kau sudah pilih bajingan itu dari pada mulianya kehormatanmu sendiri. Itu tak ada obat, kecuali nikmati surgamu sendiri. Aku tak tanggung jawab. Karena menurutmu, cintaku tai. Kenapa kau harapkan diriku?
Sekarang puas bukan buah karma ini. Aku gila, menghadap dunia ventilasi. Bicara pada angin. Terasing dalam sulitnya cari rejeki. Caramu sengsarakan aku, dipuji para setan langit bumi. Puas. Sangat puas. Hasil dirampok. Demi pangeran yang menodai kehormatanmu.Â
Kamu bahagiakan melihatku sengsara? Balas dendam mu terpuaskan. Pahalamu sundul langit bumi. Jika ini membuatmu nyaman, jangan hentikan. terus lakukan. Toh ini bumerang bagi dirimu. Lezat bukan?
Malang, 12 Februari 2022
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H