Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sampah Sampah Sastra

16 Januari 2022   22:07 Diperbarui: 16 Januari 2022   22:24 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah sampah sastra (diolah dari suaradotcom)

Rumah ini, rumah kita. Berbagi ruang karya. Ekspresi jiwa gersang nan sepi. Jiwa berapi nan bergejolak. Ada yang tafakur. Ada yang ngelindur. Semua ada dalam satu wadah. Suka tak suka, kita keluarga Kompasiana.

Maju mundur itu tanggung jawab bersama. Toleransi saling hargai. Kritik saran saling dukung saling membangun. Semua ingin moncer, ingin jadi dirinya. Hargai, itu karya. Tak semua orang bisa.

Ekspresi itu hak. Untuk unjuk diri. Jika kamu tak suka, jangan dibaca. Lewati saja. Mereka itu susah payah membuat konten. Mereka susah payah membuatnya. Coba berempati, kamu jadi dia, terus karyamu dicap sampah. Apa kamu bisa terima?

Siapa mau karyanya dianggap sampah. Menangis bung, hati ini. Teriris harga diri. Membunuh kreatifitas itu kejam. Sungguh itu perbuatan jahat yang hina.

Masih ingat, saat guruku yang killer itu bilang. " Kamu pupuk bawang. Karyamu gabermut." Seorang guru. Inspirasi para siswa. Memvonis karyaku hanya ikut ikutan. Tak bermutu.

Jujur, engkau berhasil membunuh kemampuanku menulis. Aku jadi malas menulis. 26 tahun, engkau mengkebiri karyaku. Mencap aku gabermut. Nggak bermutu. Dan aku terpukul.

Aku tak dendam padanya. Dia guru sepuh, yang anti demokratis. Type guru behaula. Guru seharusnya memotivasi, bukan menghabisi. Seharusnya membina, bukan membinasakan. 

Masih ingat, lembar kertasku dicoret coret merah. Paling tinggi nilaiku empat. Lebih banyak dikasih nilai bebek. Angka dua. Sebagai pengikut yang tak bermutu. Nangis aku pak Guru.

"Apa apaan ini," kata beliau marah marah. Lalu menyobek hasilku melekan sepanjang malam. Paginya dihinakan seperti itu. Didepan teman teman sekelas ku. Untuk ditertawakan sebagai sampah. Sungguh kuterhina hingga berhenti berkarya, 26 tahun lamanya.

Akibat dinilai itu. Aku terhenti. Hilang rasa percaya diriku untuk Menulis. Berpuluh tahun. Hingga aku sadar, caraku bodoh. Cara berhentiku, mengikuti saran sampah. Bukan karyaku yang sampah. Para pengkritik lah yang bermulut sampah.

Maafkan bapak guruku. Kau sudah mengkebiri muridmu. Berpuluh tahun mengikuti anjuranmu. Dan aku jadi sampah. Berhenti meratapi makna, tanpa karya. Zong besar, hidup tanpa menulis.

Untuk menulis satu karya. Itu butuh waktu. Butuh kontemplasi. Butuh renungan panjang. Pertimbangan. Hingga bait bait kalimat lahir. Itu tak mudah. Berkorban paket data, yang beli sendiri. Tak gratis.

Moodku kadang membara. Lancar. Kadang tersumbat. Mati ide. Walau tak berbayar, aku masih berjuang. Mengaktualisasi diri. Dalam karya. Dalam sastra. Diapresiasi Alhamdulillah, dihargai terima kasih.

Aku bisa rasa. Tak semua karyaku baik. Karyaku ideal. Karyaku sesuai kaidah sastra. Karyaku peka. Kadang karyaku tak berstatus pilihan. Tanpa label.

Kenapa? Aku berkarya itu ingin jadi diriku sendiri. Caraku. Bahasaku. Aku tak ingin copas jadi Pram. Jadi Tere Liye. Atau jadi Marah Rusli. Aku bisa meniru Chairil Anwar. Tapi aku bukan titisan Chairil Anwar. Tak bisa.

Aku tak mau jadi orang lain. Meniru habis caranya. Gayanya. Memang hebat. Tapi itu meniru. Tidak orisinil. Dan tak akan pernah jadi dirinya. Karena aku, orang lain. Diriku sendiri. Bukan dia.

Dan inilah aku. Diriku, caraku. Namun dianggap sampah sampah sastra. Ada yang muak. Ada yang muntah muntah, keracunan karyaku. Mual mual membaca tulisanku. Dan menjadi hakim kuasa, memvonis karya yang lain.

Kenapa? Tak suka? Jika kau maha hebat, tunjukan master piecemu. Mana? Jadi apa Mulutmu yang sampah, atau hatimu yang sampah. Hingga jiwamu berisi kebencian. Tanganmu dendam. Namun hanya pintar mengkritik. Tanpa tunjukan maha karya.

Sungguh kita bersaudara. Satu rumah. Bersainglah yang sehat. Jika kau terganggu sampah sampah sastraku. Buatlah tandingan. Buatlah jawabannya. 

Jika tak suka, kenapa kau baca? Lewati saja. Buat apa muntah muntah membaca sastra sampah? Itu katamu. Itu perjuangan susah payah. Lalu kau anggap sampah. Sungguh itu cara tak dewasa.

Serumah. Untuk apa cari musuh. Cari sengketa. Itu kekanakan. Ditertawakan semesta. Menghabiskan energi hidup. Akhirnya gagal menginspirasi. Musnahlah pahala menulis. Sia sia hingga habis batas usia.

Jika aku salah, aku minta maaf. Mungkin karyaku tak berkenan. Jika tak suka, jangan baca karyaku. Lupakan. Lewati saja. Kita ingin sama sama nyaman. Serumah dalam damai. Bersaing secara sehat, tanpa saling menyakiti.

Malang, 16 Januari 2022

Oleh Eko Irawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun