Sebelum pulang meninggalkan Jogja, ingin kugores kisah tentang kita, pernah disana. Berdua setelah lama dalam kusutnya kisah. Dibuang sayang, kisah sepotong kenangan Desember di Jogjakarta.
Akan banyak berjuta kisah. Itu milik kita. Bukti bahwa bacot lambe turah para pengkritik, adalah sampah. Saat kita berdua disini. Mereka para keparat yang iri. Yang ingin merampok bahagia, milik sepasang kasmaran.
Dulu mau maunya dipermainkan para bajingan tengik. Yang mengorek ngorek hubungan kita. Untuk konsumsi ghibah para elit munafik. Sejatinya mereka iri, dan akan menari bahagia, diatas bangkai kesedihan, jika kita menuruti apa kata orang.Â
Berapa jam ke depan, tahun baru akan menjelang. Ini bukan akhir, tapi awal tumbuh kembang, untuk kita. Untuk membuktikan pada para munafik buta, bahwa cinta kita ini titah Jodoh dari Yang Kuasa. Terkutuklah para pengkritik, instan karma menanti menghakimi, hadiah memfitnah orang tak salah tapi jadi bahan lezat ghibahmu.
Â
Hidup ini untuk dinikmati. Disyukuri. Dijalani tanpa keluh kesah. Kita berdua, memang perlu sekali waktu pergi jauh dari semua itu. Keluar lingkaran dari para jawara pendusta. Yang menjual kisah kita, untuk menghakimi. Seolah mereka lupa berkaca diri. Sang bangsat biadab berjubah pembela, tapi merampok kebahagiaan insan kasmaran.Â
Biarlah mereka jadi anjing yang menggonggong. Kafilah kasmaran tetap berlalu. Uruslah dirimu sendiri. Kau obok obok hidupku, demi puasnya hati iblismu. Sekarang hasilnya apa? Kami berdua tetap melangkah. Memberi bukti nyata bahwa perbuatanmu, hanya sampah para munafik dusta.
Beberapa hari ini, kita memang bolak balik di titik nol Jogja. Kita memang memulai dari nol lagi. Hingga malam tahun baru ini, kita kembali ke sana. Menikmati hidup, lepas merdeka dari kata orang.
Nol, ibarat impas. Dari titik nol adalah bahasa SPBU. saat isi bahan bakar hidup kita, diisi dari titik nol. Agar jelas transaksi hidup ini. Lupakan dan pendam masa lalu. Kita memulai hidup baru dari titik nol Jogja.
Duduk di bangku sambil berpegang tangan. Mengenang masa lalu. Menikmati hari ini. Dan merencanakan masa depan kita. Hidup bukan olok olok kepalsuan. Kita sama sama menua, haruskah kita jalan sendiri sendiri dan jadi tontonan?
Titik nol menginspirasi. Jika kita baik baik saja, kita tentunya bahagia dan hari ini tak pernah ada. Karena disana, sudah bahagia.
Tapi kita sama sama kandas. Bertahun berlalu dalam sengketa masing masing. Kita bertemu, karena ada Kuasa Tuhan. Skenario Nya yang bicara, bukan skenario orang orang iri.
Siapa sih mau kandas. Hidup kita seperti layangan putus. Rawan dirasani. Rawan dighibah. Rawan difitnah. Kemiskinan kita jadi bahan lambe turah. Seolah kita sampah yang harus dibuang kelaut. Untuk ditonton penderitaan ini. Jadi infotainment para pemuja munafik akut. Dikira tidak ada karma atas menambah nambahi cerita ini, dengan bumbu bumbu dusta dan tafsir pribadi mereka.
Dunia cinta ini, dunia kita sendiri. Biarkan mereka mengulas habis hingga kita telanjang. Untuk dicela habis semua aib. Padahal itu fitnah.
Kita akan satukan hati. Saatnya berdua. Menyatukan rasa. Berdoa agar kita bisa lalui bersama. Kembang api malam tahun baru, dititik 0 Jogja. Awali kisah kita. Bismillah, Allahuma. Aamiin.
Djogjakarta, 5 Januari 2022
Ditulis oleh Eko irawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI