Sekarang, kita telah bersama. Tak ada lelah lagi kita rasa. Memandangmu saja, aku jadi semangat. Inilah jawaban, kenapa aku harus bersamamu. Sekalipun dulu, banyak yang tak suka kita bersama.
Jalanan kampung. Ramai lalu lalang. Anak anak yang bermain ceria. Gembiranya, sorot matanya. Anak anak metropolitan Jogja. Menyatu tradisi dan modernnya peradaban.Â
Keluar dari gang, masuklah ke jalanan Malioboro. Mall besar. bisa menyatu dengan pedagang kaki lima, delman dan becak. Sore itu pingin jalan kaki. Berdua. Bersamamu Menuju 0 km Jogja.Â
Senja mulai temaram. Bertukar Cahya lampu. Para wisatawan mulai berdatangan. Termasuk aku dan dirimu. Menikmati syahdunya jalanan Malioboro.
Setapak demi setapak langkah. Sambil cerita tentang apa yang pernah kita lalui bersama. Cinta memang harus diperjuangkan. Tanpa lelah. Tanpa mengeluh.
Bersamamu itu, seperti langkah menuju titik 0 km Jogja. Kita sama sama pernah sakit. Sama sama pernah gagal. Cerita lampau. Untuk pengalaman hidup. Membangun jalinan kisah. Jalinan kasih, sekalipun kita tak lagi muda.
Kita beli sebotol minuman. Kita minum berdua. Anak asongan yang menjajakan. Ramah. Walau kita hanya membelinya sebotol saja.
Langkah kaki mulai menapak Beringharjo. Pasar yang tak pernah mati. Dengan aneka batik khas Indonesia. Didepan nampak benteng Vredenburg. Kokoh bertahan menyimpan elegi perjuangan.Â
Perempatan itu. Kita menyeberan. Menuju titik nol km Jogja. Diusia yang tak lagi remaja. Kita kembali ke titik nol hidup kita sendiri. Lembar baru. Aku dan dirimu.
Sejenak melepas rasa. Saling pandang di titik 0 km Jogja. Desember ini jadi penggambaran kisah kita sendiri. Betapa lelah perjalanan kita hingga kesini. Tapi itu terbayar. Saat bersamamu.