Baca kisah sebelumnya di link berikut ini : Desember 0 Km Jogja (Bagian 2)
----------------
Suatu sore yang syahdu. Menapak pedestrian Jogja. Saat kau tak malu lagi kugandeng tanganmu. Berdua saja. Bersamamu dalam indahnya bulan madu.
Kita telah melalui banyak ujian. Mengikuti apa kata orang, bikin kita tak berdaya. Diadu. Difitnah. Dipisah. Seolah aku itu begini. Kamu begitu. Tapi itu kata orang, yang tak suka kita bersama.
Kita pernah jadi tontonan. Jadi gosib murahan. Yang menghibur orang orang berhati dengki. Yang katanya menolong. Memihak. Kasihan pada kita. Aib pribadi jadi komoditi ghibah. Dan itu, tentang kita. Aku dan dirimu.
Dan hari itu, kita buktikan. Desember 0 km Jogja menjadi jawaban. Bahwa aku dan kamu punya pilihan. Bahagia itu apa kata kita berdua, bukan pada bacot para lambe turah. Yang utamakan rasan rasan, tapi jadi pahlawan kesiangan.Â
Kampung Sosro kusuman Jogja. Ramahnya, Menyambut pendatang bak tamu agung. Kita seolah warga disana. Keramahan yang selalu dirindukan.Â
Selepas turun dari travel pagi itu. Dijalan Mataram. Lelah perjalanan terurai. Soto Lamongan menjadi menu pertama. Tak perlu naik becak. Karena kita pingin berjalan kaki. Menikmati Jogja.
Desember akan jadi kenangan. Hingga tahun baru nanti. Sisa hujan terlihat dijalanan. Membuat sejuk udara pagi itu. Yang mulai terik.
Hanya satu keinginan. Merebahkan badan segera. Untuk nanti bersamamu. Ke titik 0 jogjakarta. Sore nanti. Dan lelah perjalanan malang Jogja, serasa terbayar. Karena ini bersamamu. Kekasihku.
Sekarang, kita telah bersama. Tak ada lelah lagi kita rasa. Memandangmu saja, aku jadi semangat. Inilah jawaban, kenapa aku harus bersamamu. Sekalipun dulu, banyak yang tak suka kita bersama.
Jalanan kampung. Ramai lalu lalang. Anak anak yang bermain ceria. Gembiranya, sorot matanya. Anak anak metropolitan Jogja. Menyatu tradisi dan modernnya peradaban.Â
Keluar dari gang, masuklah ke jalanan Malioboro. Mall besar. bisa menyatu dengan pedagang kaki lima, delman dan becak. Sore itu pingin jalan kaki. Berdua. Bersamamu Menuju 0 km Jogja.Â
Senja mulai temaram. Bertukar Cahya lampu. Para wisatawan mulai berdatangan. Termasuk aku dan dirimu. Menikmati syahdunya jalanan Malioboro.
Setapak demi setapak langkah. Sambil cerita tentang apa yang pernah kita lalui bersama. Cinta memang harus diperjuangkan. Tanpa lelah. Tanpa mengeluh.
Bersamamu itu, seperti langkah menuju titik 0 km Jogja. Kita sama sama pernah sakit. Sama sama pernah gagal. Cerita lampau. Untuk pengalaman hidup. Membangun jalinan kisah. Jalinan kasih, sekalipun kita tak lagi muda.
Kita beli sebotol minuman. Kita minum berdua. Anak asongan yang menjajakan. Ramah. Walau kita hanya membelinya sebotol saja.
Langkah kaki mulai menapak Beringharjo. Pasar yang tak pernah mati. Dengan aneka batik khas Indonesia. Didepan nampak benteng Vredenburg. Kokoh bertahan menyimpan elegi perjuangan.Â
Perempatan itu. Kita menyeberan. Menuju titik nol km Jogja. Diusia yang tak lagi remaja. Kita kembali ke titik nol hidup kita sendiri. Lembar baru. Aku dan dirimu.
Sejenak melepas rasa. Saling pandang di titik 0 km Jogja. Desember ini jadi penggambaran kisah kita sendiri. Betapa lelah perjalanan kita hingga kesini. Tapi itu terbayar. Saat bersamamu.
Menyesal. Kenapa ini tak sedari dulu. Kenapa kita melalui kisah panjang penuh duka. Berpuluh tahun dalam derai kisah pahit. Jika sejak saat itu kita bersama, tak pernah akan ada kisah pedih itu.
Rahasia takdir jodoh kita. Terwujud dalam amanat doa. Ibuku tak akan berdusta. Amanah untuk hidup bersamamu. Untuk selamanya.
Terima Kasih ibuku, ibumu. Kami telah dilahirkan untuk sekarang bersama. Merenda kasih hingga harus kembali ketitik nol ini. Lembar baru. Kami telah bersama ibu. Semoga ibu ibu kami berbahagia di alam sana. Al Fatihah.
Djogjakarta, 24 Desember 2021
Ditulis oleh Eko Irawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI