Kami adalah pelaku budaya. Pelestari ciri khas bangsa. Tak banyak yang kami minta. Beri kami panggung untuk hidup. Agar apapun kami, akan mandiri. Tak jadi beban negeri. Berkarya dan dapat rejeki.
Kami mencintai negeri ini. Ini tanah airku sendiri. Berbagai bidang seni budaya kami dalami. Menorehkan sejarah budaya. Milik bangsa, kebanggaan Indonesia.
Berbagai bidang seni budaya. Dari penulis hingga pelaku budaya. Betapa kaya ragam budaya bangsaku. Dari musik, sastra, tari hingga busana. Drama, bahasa dan goresan lukisan serta aneka kuliner khas bangsa. Ini asli milik sendiri. Bangga memilikinya.
Banyak yang silau budaya asing. Meniru budaya tetangga. Dianggap modern dan kekinian. Tapi itu milik orang lain. Apa yang dibanggakan? Gengsi? Kita punya sendiri. Yang dikagumi bangsa lain.Â
Betapa banyak kisah pedih. Sulitnya para pegiat budaya. Hidup sengsara dibawah garis kemiskinan. Mengais rejeki dikubangan metropolitan. Bersaing dengan budaya baru, import yang lebih dibanggakan. Sementara punya sendiri, tidak dihargai. Dilupakan tanpa apresiasi.
Kami, tak butuh janji janji gombal. Kami tak butuh diajak dialog omong kosong. Dikira kami hanya jadi beban, yang meminta uang dan uang. Dikira mata duwitan. Bisa diperalat dan dimanfaatkan. Diperas keringat, tenaga dan pikiran.Â
Kami sudah kenyang ditipu. Diiming iming. Dipekerjakan tapi tak dihargai. Dituntut partisipasi sebagai sukarelawan. Setelah itu dilupakan. Dianggap tak kompeten. Tidak akademis. Tidak ahli. Mentah. Dan kampungan.
Intrik yang membuat kami bosan. Dalam konspirasi tingkat tinggi. Para dewa dewa langit. Berbagai alasan ditebar. Tapi kami dibuang. Dilupakan. Dianggap beban. Dan disalahkan.Â
Kami ingin budaya negeri maju. Jadi warisan budaya yang berkelas. Siapa yang akan mewarisi. Jika yang asli negeri ini, diklaim bangsa lain. Baru kebakaran jenggot.Â
Kami paham aturan aturan yang ada. Soal anggaran. Dan entahlah itu. Tapi supportlah kami. Dengan memberi kami panggung untuk hidup. Panggung untuk bertahan mencari rejeki. Karena kami, bukan peminta minta. Kami bukan pengemis. Bukan pengamen. Yang dibayar recehan.
Kami sudah lelah dengan janji. Didata, tapi tak diakui. Dianggap tidak ada dan ngrepoti. Dibiarkan menunggu dan dipingpong sana sini. Bukan itu yang kami butuhkan. Kami butuh panggung, agar kami mandiri mencari rejeki.
Kami tak mengkritik siapapun. Kami pelanduk kecil, yang bersimpuh dikaki raksasa gajah. Suara kami, hanya jeritan semut. Terdengar laksana radio bejat, dalam frekuensi tak tepat. Seperti kentut angin lalu.
Beri kami pancing, agar dapat ikan. Beri kami panggung, bukan panggung sandiwara. Tapi panggung kreasi. Terlindung dalam kuasamu. Maju dalam dukunganmu. Karena ini milik kita sendiri. Kebanggaan bangsa ini.Â
Ini hanya barisan kata kata. Olah sastra tak dikenal. Pujangga yang tak punya panggung. Maaf jika menyinggung. Kami tak butuh dipolitisi. Kami hanya ingin hidup mengais rejeki. Dan kami hidupkan tradisi. Budaya milik bangsa sendiri. Agar abadi, dikenal anak cucu nanti.
Tolong, beri kami panggung. Panggung untuk hidup. Lindungi kami. Dalam indahnya kreasi. Menghibur dalam apresiasi. Lestari nan abadi. Majulah budaya negeri.
Malang, 15 Desember 2021
Ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H