(Baca kisah sebelumnya di Link sbb : https://www.kompasiana.com/eko67418/61891b50ffe7b51fc02631a4/stri-nareswari-2-mencarimu )
Hidup adalah enigma. Teka teki. Tentang hidup hari ini, kemarin dan masa depan. Semua diliputi pigura pigura misteri. Yang memenuhi pikiran sebagai pengetahuan dan pengalaman. Untuk mau belajar atau abaikan saja.
Inilah yang dikatakan tentang sejarah. Banyak yang abaikan. Dianggap Ndak penting. Bikin pusing. Bukan urusan dapat cuan untuk esok hari. Sejarah hanya barang basi untuk dilupakan.
Merekalah orang orang praktis. Pemikir sempit. Hidupnya kerja keras, hanya dari mulut ke WC. Hidup hanya untuk diri dan orang orang disekitarnya saja. Tak terekam, apalagi menginspirasi yang lain. Jauh dari manfaat, terlupakan diruang waktu masa depan. Sekalipun sekarang, dirimu hebat.
Tapi aku menganggap yang lalu itu, punya manfaat. Seperti hadirku disini. Dipelataran Jajaghu. Membaca pesan relief, gambar wayang watu. Pesan leluhur untuk masa depan. Hari ini. Dan ruang waktu nanti.Â
Tahun 1280, bangunan ini telah berdiri. Atas perintah Kertanegara. Untuk menghormati ayahandanya, Raja Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun 1268. Seribu tahun yang lalu, pesan itu abadi. Hingga hari ini.
Pesan abadi ini ada disini. Tapi tak terpikir oleh mereka. Yang mencampakan sejarah. Meremehkan yang lalu, lalu dianggap kuno. Yang sekarang itu, dianggap baru modern. Tapi mereka lupa, sekarang ada, karena ada dulu. Tak ada sekarang tanpa perjuangan kemarin.Â
Biarlah mereka, melupakan sejarah seperti melupakan mereka lupa pernah dilahirkan. Pernah kecil. Itu bagian dari sejarah dulu. Itu ada dalam ruang waktu sejarah hidupnya. Reuni juga mengenang sejarah kemarin. Kenapa jika tak penting dan dianggap kuno, mereka mengenang masa sekolah. Teman lama. Dan kejadian lucu pada masa itu.
Dan pagi itu aku kembali bercengkrama dalam ruang waktu yang bukan masaku sekarang. Aku hadir diwaktu jaman ini. Tapi aku kembali kemasa Kertanegara. Saat berdiri dialtar candi. Sebagai raja insinyur yang menghormati ayahnya raja WisnuWardana.Â
Kontemplasi ruang waktu. Melihat kembali nenek moyang tlatah tumpang. Memutar melawan arah jam. Kembali pada panil panil relief. Adakah kisah hidupku, terpaut dalam relief terdahulu. Mahabarata. Ada disini. Tentang teladan Stri Nareswari. Sang Dewi Drupadi.
Inilah salah satu bagian dari hasta dasa parwa (18 bagian) kisah Mahabharata. Tentang Pandawa bermain dadu. Tentang bagaimana Dewi Drupadi menjaga kehormatannya. Menjaga suaminya. Berjuang untuk kebahagiaan.
Dan itu ada di panel relief Jajaghu. Didepanku.
Idemu memilih dia sebagai suami baru. Polyandri ala Dewi Drupadi. Bisakah, mampukah. Sementara alasanmu balas dendam. Untuk tuduhan salah yang tidak kulakukan. Penghakiman sepihak atas nama cinta dan nafsu. Kau tak terpisahkan bersama dia, selingkuhanmu.
Iya, ini sejarah kelam hidupku. Seolah dijawab wayang watu. Panil Mahabarata. Tentang Dewi Drupadi. Kau anggap petunjuk ini mubazir. Kuno. Tak modern. Tapi panil ini menjawabmu, tentang nafsumu mengalahkan warasmu.
Akupun bertarung gila. Melawan diri sendiri. Jika kau stri nareswariku, kau mungkin tak akan gila. Wanita bersuami dua. Ide siapa. Saran siapa.Â
Bukan renungan biasa. Saat kupusing melihat tingkah polahmu. Kau ini seorang ibu. Tapi kenapa yang berburu kepuasan? Ada cara halal. Direstui Semesta. Tapi kau lakukan durjana. Memilih cara haram. Cara binatang.
Bangganya dirimu disukai banyak lelaki. Sungguh urat malumu telah putus. Kongslet. Kau lupa sudah bersuami. Punya tanggung jawab. Tapi nafsu bintangmu, mengalahkan logikamu.
Apakah aku Tunggul ametung? Yang akan ditikam Kebo ijo petang itu. Atas suruhan dia. Ken Anggrok. Sang Amurwabumi. Demi utamanya Stri nareswari. Yang akan dirampok lelaki selingkuhanmu? Agar kau bahagia bersamanya?
Kehormatanmu itu stri nareswariku. Itu yang kau obral gratis pada lelaki bajingan pujaanmu. Kau masih mulia pelacur. Masih dibayar. Tapi dirimu? Masih keluar uang. Demi dia. Kau peras aku untuk dia. Sementara dia, tertawa ngakak diatas ranjang, menikmati tubuhmu.
Seharusnya dia kesatria. Yang menjaga mulianya dirimu. Tapi dia malah merampok yang dijaganya. Untuk nikmatnya sendiri. Gratis, tak bayar , tapi minta dibayar. Demi perbuatan haram, kau peralat stri nareswariku. Untuk nikmat sesaat, berbuah sengsara. Dunia akhirat.
Dan kau minta dibenarkan. Kau Galang semua manusia untuk membenarkan dendammu. Kau buat cerita settinganmu. Seolah malaikat lalai tak mencatat bejatmu. Padahal sandiwaramu basi. Ditertawakan langit bumi. Terekam dalam ruang waktu. Kau lakukan. Sembunyi. Suka sama suka. Dibalikku. Dengan riang gembira mereguk surga. Bersama selingkuhanmu.
Aku bersedih Ya Allah. Aku didzolimi. Oleh musuh dalam selimut. Stri nareswariku sendiri. Ternyata Duniamu sandiwara. Duniamu tipu tipu. Aku hendak kau duakan. Dengan alasan dendam. Kau tuduh aku merusak pagar ayu. Punya seseorang. Tapi demi langit bumi, aku tak melakukan itu. Fitnah apa lagi yang akan kau dustakan.
Inilah enigma ruang waktu. Kau secara sadar melakukannya. Itu asli dirimu. Bukan karena sihir. Ruang waktu telah merekam semua. Atas kuasa Penguasa Jagad.Â
Jika selingkuhanmu kesatria, dia tak mau lempar batu sembunyi tangan. Dia akan datang padaku. Dan meminangmu. Itu baru lelaki sejati. Tapi dia? Ternyata banci kaleng. Pengecut tingkat dewa. Itukah lelaki pujaanmu?
Tapi kau membelanya. Sebagai lelaki baik hati yang membahagiakan dirimu. Tanganmu sudah jadi kebo ijo. Yang menikam lumpuh mahligai suci. Kau berkata bahagia bersamanya. Sementara denganku adalah tai.
Duhai Stri Nareswariku. Semesta telah membuat ruang waktu. Merekammu. Tiada yang luput. Kau bisa tipu diriku. Tapi ruang waktu ini akan jadi saksi. Hingga pengadilan akhir.
Jujur saja. Terbuka saja. Akui. Itu pengampunan Illahi. Tapi kau ternyata egois. Mengatakan itu dulu, sekarang sudah tidak. Segampang itukah Stri nareswari mulia melupakan bejatnya?Â
Derajat muliamu sudah kau gadaikan. Suka sama suka. Dengan hati bersuka ria gembira. Untuk bertemu dia, kau perawatan dulu. Kesalon mahal atas biaya orang yang kau lukai ini. Apakah ruang waktu akan kau tipu. Dengan seenak tafsirmu.
Selamat jalan. Jika kau bertahan disini, restu langit bumi akan sirna. Cinta palsumu akan membuat sengsara. Karena hatimu bersandiwara. Bukan tulus suci lagi. Tapi dendam beselimut dendam. Penuh tipu daya.Â
Sungguh tak ada kemuliaan, diatas bangunan cinta, yang sudah dinodai. Itu tak termaafkan. Aku tak bisa lupa polahmu. Apalagi Penguasa semesta Alam. Aku bisa ditipu, tapi ruang waktu tetap menyimpan kisah. Tetap ada hingga hari akhir nanti.
(Bersambung)
Malang, 22 November 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H