Aku bersedih Ya Allah. Aku didzolimi. Oleh musuh dalam selimut. Stri nareswariku sendiri. Ternyata Duniamu sandiwara. Duniamu tipu tipu. Aku hendak kau duakan. Dengan alasan dendam. Kau tuduh aku merusak pagar ayu. Punya seseorang. Tapi demi langit bumi, aku tak melakukan itu. Fitnah apa lagi yang akan kau dustakan.
Inilah enigma ruang waktu. Kau secara sadar melakukannya. Itu asli dirimu. Bukan karena sihir. Ruang waktu telah merekam semua. Atas kuasa Penguasa Jagad.Â
Jika selingkuhanmu kesatria, dia tak mau lempar batu sembunyi tangan. Dia akan datang padaku. Dan meminangmu. Itu baru lelaki sejati. Tapi dia? Ternyata banci kaleng. Pengecut tingkat dewa. Itukah lelaki pujaanmu?
Tapi kau membelanya. Sebagai lelaki baik hati yang membahagiakan dirimu. Tanganmu sudah jadi kebo ijo. Yang menikam lumpuh mahligai suci. Kau berkata bahagia bersamanya. Sementara denganku adalah tai.
Duhai Stri Nareswariku. Semesta telah membuat ruang waktu. Merekammu. Tiada yang luput. Kau bisa tipu diriku. Tapi ruang waktu ini akan jadi saksi. Hingga pengadilan akhir.
Jujur saja. Terbuka saja. Akui. Itu pengampunan Illahi. Tapi kau ternyata egois. Mengatakan itu dulu, sekarang sudah tidak. Segampang itukah Stri nareswari mulia melupakan bejatnya?Â
Derajat muliamu sudah kau gadaikan. Suka sama suka. Dengan hati bersuka ria gembira. Untuk bertemu dia, kau perawatan dulu. Kesalon mahal atas biaya orang yang kau lukai ini. Apakah ruang waktu akan kau tipu. Dengan seenak tafsirmu.
Selamat jalan. Jika kau bertahan disini, restu langit bumi akan sirna. Cinta palsumu akan membuat sengsara. Karena hatimu bersandiwara. Bukan tulus suci lagi. Tapi dendam beselimut dendam. Penuh tipu daya.Â
Sungguh tak ada kemuliaan, diatas bangunan cinta, yang sudah dinodai. Itu tak termaafkan. Aku tak bisa lupa polahmu. Apalagi Penguasa semesta Alam. Aku bisa ditipu, tapi ruang waktu tetap menyimpan kisah. Tetap ada hingga hari akhir nanti.
(Bersambung)
Malang, 22 November 2021