Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Diary

Orang Biasa Menulis Sastra

10 November 2021   15:28 Diperbarui: 10 November 2021   15:50 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang biasa menulis sastra dokpri

Andai aku bisa kesana. Kembali ke jaman layar terkembang. Atau menemui Chairul Anwar. Ingin kurasakan deru debu. Tentang heroiknya jaman. Saat karpet merah para sastrawan. Menghipnotis suatu masa.

Kembali ke aku. Bukan siapa. Bukan apa apa. Aku ini menunggu maha karya jaman. Kemana para muda jurusan sastra. Yang lebih mumpuni ilmunya. Pasti mampu kalian mengalahkan empu Prapanca. Dengan negarakertagamanya.

Kucari dan kucari. Mungkin kalian ada diruang ruang eksklusif. Seminar mentereng digedung mewah. Saat seorang aku datang, akan diusir satpam. Karena tak level dengan kalian.

Jujur aku mempertanyakan kemana para sarjana. Semedi agar lebih digdaya. Atau tengah menyusun epic maha karya. Bertahun tahun itu kutunggu. Mungkin aku yang dungu. Tak bisa menemuimu. Menikmati hipnotis, seperti masa Siti Nurbaya.

Aku hanya bertarung dengan kebodohanku. Sibuk dalam duniaku mencari jawaban. Yang kujawab sendiri. Untuk menipu ketidaktahuanku. Sebuah tanya goblok, dijawab orang dungu.

Kuliah itu, kadang tak sesuai hasratmu. Kau terpaksa tersesat dalam lembah asing. Lautan liar, ganas tak bertepi. Ditempuh untuk lulus dalam nilai nilai tinggi. Menulismu hanya demi pujian dosen. Setelah lulus. Tumpul. Hilang dimedan pertarungan dunia kerja. 

Asal kuliah. Asal masuk jurusan. Tak mikir. Mau apa setelah nanti. Dijalani setengah terpaksa. Kau ternyata tak kenal diri sendiri. Yang kau kenal orang lain. Bukan kamu mampu apa. Tapi berlomba menuju satu pintu. Dunia nyaman karyawan. Tak mikir, asal manut, tiap bulan gajian.

Akupun juga demikian. Sangat dungu. Warisan goblok yang dipelihara turun temurun. Hanya atas nama gengsi. Kuliah di universitas top. Setelah lulus, nganggur. Diterima kerja bukan pada bidangnya. Hanya jadi orang nomer sekian. Demi urusan cuan. Dan perut.

Kemana yang muda, yang jadi pelopor bangsa. Kemana darah mudamu? Kalian itu ditunggu. Mana gebrakanmu. Dalam karya. Bukan ahli demo, tapi tak tahu demo untuk kepentingan apa. Untuk siapa. Katanya sarjana, kok jadi boneka. Sumbu pendek, Mudah disulut. Mudah diprovokasi. Diperalat tanpa kamu sadari.

Silahkan saja jadi pahlawan. Jika megaphone membuatmu bangga. Teriak menghujat aparat negara. Menuntut keadilan. Itu hak setiap warga negara. Jika kalian cerdas, buat inovasi. Kasih solusi. Bukan demonstrasi. Apalagi hujat sana hujat sini. Yang tidak kuliah saja bisa.

Banyak jalan, untuk berkarya. Namun miliki pola pikir besar. Sulit jika yang muda hanya mau rebahan. Bergerak nunggu diperintah. Tak ada kemauan sendiri. Karya karsamu kemana. Yang diluar negeri sibuk dengan riset ilmiah. Sampai  keluar Angkasa. Lulusan disini sibuk cari kerja. Tak sesuai jurusan lagi.

Sastra oh sastra. Kamu kemana. Saat aku ditertawakan. Orang biasa nulis sastra. Sementara yang ahli kemana. Ya, bisa jadi aku yang udik. Ndeso. Tak tahu kiprah para sastrawan. Maklum dan maklum. 

Aku memang tak mikir duniamu. Tak ada urusan denganmu. Aku sibuk dengan diriku. Rugi dong, dirimu yang sekolah tinggi, tak kenal dirimu sendiri. Lha kamu siapa? Bisa apa? Mau apa? Sudahkah kau kenal siapa sejatinya dirimu.

Ken Angrok yang jelata bisa jadi maha raja sang Amurwabumi. Keturunannya jadi raja raja besar. Itu orang biasa. Tak pernah kuliah. Dirimu harusnya malu. Apa yang sudah kau darma bakti kan untuk tanah airmu? 

Apalagi kau tak menulis. Coba tanya mpu prapanca kuliah dimana? Tapi dia menulis. Dan kau sudah pernah kuliah. Kau nulis apa yang berguna untuk edukasi bangsamu. 

Aku bukanlah siapa siapa. Aku hanya orang biasa. Yang menulis dengan sastra. Kau baca, Alhamdulillah. Tak kau baca, ya sudah. Aku tak mabuk pujian. Tome Pires saja tak pernah tahu untuk apa tulisannya. Baru ratusan tahun kemudian Suma oriental jadi buku maha karya. 

Andai MPU Prapanca rebahan saja. Tak menulis. Kita akan diolok olok jaman. Dianggap bangsa bodoh yang bisa dijajah. Tak ada kebesaran masa lalu. Banggalah pada karya leluhur. Sekarang ada, karena ada kemarin. 

Orang biasa menulis sastra. Ini yang kukenali dari diriku. Kusimpan sendiri, aku egois. Seperti unta memikul buku. Tapi untanya tetap bodoh. Menulis bisa abadi. Bisa menginspirasi. Bagi pembaca yang punya hati. 

Menulislah. Itu caramu abadi, menginspirasi jaman. 

Malang, 10 November 2021

Oleh Eko Irawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun