Banyak jalan, untuk berkarya. Namun miliki pola pikir besar. Sulit jika yang muda hanya mau rebahan. Bergerak nunggu diperintah. Tak ada kemauan sendiri. Karya karsamu kemana. Yang diluar negeri sibuk dengan riset ilmiah. Sampai  keluar Angkasa. Lulusan disini sibuk cari kerja. Tak sesuai jurusan lagi.
Sastra oh sastra. Kamu kemana. Saat aku ditertawakan. Orang biasa nulis sastra. Sementara yang ahli kemana. Ya, bisa jadi aku yang udik. Ndeso. Tak tahu kiprah para sastrawan. Maklum dan maklum.Â
Aku memang tak mikir duniamu. Tak ada urusan denganmu. Aku sibuk dengan diriku. Rugi dong, dirimu yang sekolah tinggi, tak kenal dirimu sendiri. Lha kamu siapa? Bisa apa? Mau apa? Sudahkah kau kenal siapa sejatinya dirimu.
Ken Angrok yang jelata bisa jadi maha raja sang Amurwabumi. Keturunannya jadi raja raja besar. Itu orang biasa. Tak pernah kuliah. Dirimu harusnya malu. Apa yang sudah kau darma bakti kan untuk tanah airmu?Â
Apalagi kau tak menulis. Coba tanya mpu prapanca kuliah dimana? Tapi dia menulis. Dan kau sudah pernah kuliah. Kau nulis apa yang berguna untuk edukasi bangsamu.Â
Aku bukanlah siapa siapa. Aku hanya orang biasa. Yang menulis dengan sastra. Kau baca, Alhamdulillah. Tak kau baca, ya sudah. Aku tak mabuk pujian. Tome Pires saja tak pernah tahu untuk apa tulisannya. Baru ratusan tahun kemudian Suma oriental jadi buku maha karya.Â
Andai MPU Prapanca rebahan saja. Tak menulis. Kita akan diolok olok jaman. Dianggap bangsa bodoh yang bisa dijajah. Tak ada kebesaran masa lalu. Banggalah pada karya leluhur. Sekarang ada, karena ada kemarin.Â
Orang biasa menulis sastra. Ini yang kukenali dari diriku. Kusimpan sendiri, aku egois. Seperti unta memikul buku. Tapi untanya tetap bodoh. Menulis bisa abadi. Bisa menginspirasi. Bagi pembaca yang punya hati.Â
Menulislah. Itu caramu abadi, menginspirasi jaman.Â
Malang, 10 November 2021
Oleh Eko Irawan