Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Topeng Slilir: Akar Historis Budaya Topeng Panji Khas Malangan (Bagian 3)

20 Januari 2021   14:59 Diperbarui: 20 Januari 2021   15:00 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menelusuri kembali jejak Topeng Slilir, kelurahan Bakalan Krajan kota Malang ternyata diperlukan banyak pengetahuan yang sangat luar biasa perihal topeng dan kisah Panji. Proses pencarian data historis dan literasi terus giat dilakukan, agar rekonstruksi kebangkitan kembali topeng Slilir memiliki dasar narasi dan literasi yang kokoh. 

Salah satunya apa yang disampaikan oleh Bapak M. Dwi Cahyono, arkeolog dan sejarawan dari Universitas Negeri Malang yang kupas tuntas akar historis sejarah Panji dan topeng Malangan. Narasi ini perlu disampaikan agar tergambar potensi topeng Malangan dalam kajian historis.


A. Data Epigrafis Seni Pertunjukan Berpropeti Topeng di Malang
 
Jejak topeng Malang masa lampau terekam dalam beragam sumber data. Untuk Masa Hindu-Buddha, jejaknya antara lain didapati dalam sumber data epigrafis. Sejauh kita ketahui sumber data tertua yang memberitakan adalah dua prasasti dari masa pemerintahan Pu Sindok (Sri Isana), yaitu prasasti Himad (930 M.) dan prasasti Dinoyo A (8..... Saka). Prasasti Himad memuat kata "matapukan (memainkan tari topeng)" (Cahyono, 2003, lampiran III). Konteks pembicaraannya adalah sajian seni sebagai penyemarak ritus penetapan wanua (desa) Himad menjadi sima (perdikan). Hal serupa dijumpai dalam prasasti Dinoyo A, yang menyebut per- kataan "juru ning mangrakat (pimpinan pertunjukan raket, yakni sendra tari topeng) bernama Pataweh (Cahyono, 2003, lampiran III). Dapat dipastikan bahwa pada paruh pertama abad X tari topeng telah ada di Malang, dipentaskan sebagai performing art dalam berbagai perhelat-an, tidak terkecuali dalam acara kenegaraan yang formal-sakral, yakni penetapan sima. Kedua prasasti itu menyebut adanya seni pertunjukan tertentu, dimana pelaku seninya mengenakan properti yang berbentuk topeng (tapuk atau tapel).

Tidak diragukan bahwa istilah 'matapukan' dan 'mangrakat' dalam kedua prasasti di atas menunjuk pada pementasan seni pertunjukan yang mengenakan properti topeng. Alasan pertama istilah-istilah itu berada dalam satu konteks dengan penyebutan ragam seni pertujuk-an lainnya yang juga dipentaskan sebagai penyemarak upacara penetapan sima. Kedua, pada masa lalu hingga kini terdapat seni pertunjukan tari, sendra-tari ataupun seni drama (teater), yang seluruh atau sebagian pelaku seninya mengenakan properti topeng. Kendati demikian, kedua prasasti tersebut tidak eksplisit menyatakan bahwa seni pertunjukan berproperti topeng itu merupakan seni tari atau sendra-tari. Jika merupakan sendra-tari, tidak pula disebut menngenai lakon apa yang didramatarikan. Yang terang, kala itu (abad X M.) cerita Panji masih belum menjadi lakon dalam sendra-tari berproperti topeng di Malang, karena cerita Panji baru ditulis dalam bentuk susastra prosa (gancaran) pada masa Majapahit (abad XIV-XVI M.).

Foto dari M. Dwi Cahyono
Foto dari M. Dwi Cahyono
Petunjuk bahwa cerita Panji telah menjadi lakon dalam tari murni ataupun sendra-tari berproperti topeng didapati dalam prasati tembaga (tamraprasasti) Pabanyolan (Thn. -) yang ditemukan di Desa Gubugklakah Ke. Pocokusomo Kab. Malang pada lereng selatan Gunung Tenggerdi. Meskipun tidak mencantumkan angka tahun, namun prasasti ini menyebut nama 'Wilatikta', yang kita ketahui sebagai nama kadatwan Majapahit, sehingga bisa diprakirakan asalnya dari masa Majapahit. Tidak sebagaimana lazimnya pada prasati-prasasti lain, prasasti Pabanyolan bukan disurat atas perintah raja atau penguasa di bawahnya untuk mengabadikan maklumat raja (charter) perihal keputusan resmi kerajaan, melainkan ditulis oleh anggota ko-munitas keagamaan di sang hyang batur Panjaran (PKMN, 1985:110-111). Kata 'batur' yang ditempatkan sebelum nama 'Pajaran' menjadi petunjuk bahwa di Pajaran terdapat pertapaan, sebab secara harafiah istilah 'batur' berarti pimpinan sebuah pertapaan (Zoetmulder, 1995, I: 115). Hingga kini toponimi 'Pajaran' masih digunakan sebagai nama desa di Kec. Tumpang, yang bertetangga dekat dengan Kec. Poncokusumo.

Sesuai dengan penyebutannya, yaitu prasasti 'Pabanyolan', pertulisan pendek (short inscription) ini berisi sinopsis cerita Panji yang komis (lucu = banyol). Pilihannya pada cerita Panji menjadi petunjuk bahwa kala itu cerita Panji telah menjadi sastra favorit. Bukan saja di lingkungan keraton, namun hingga juah ke lingkungan luar keraton di tempat yang terpencil. Sebagai suatu tempat pembelajaran (mandala kadewagurwan), anggota komunitas keagama-an di batur Pajaran meminati dan bahkan menjadi kreator (penggubah) lakon Panji. Memang, salah satu materi ajar di suatu mandala kadewagurwan adalah pembelajaran bidang susastra, tidak terkecuali tentunya susastra yang mengkisahkan dramatika tokoh Panji dan kerabatnya.

Seni pertunjukan berproperti topeng tidak seluruhnya melakonkan cerita Panji, namun melakonkan juga cerita-cerita lain yang berasal dari wiracarita Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, menurut penuturan maestro topeng Malang almarhum Mbah Karimun dari sanggar wayang topeng di Kedungmonggo, pada pra Masa Pendudukan Jepang (1942-1942) wayang topeng berlakon Menak acap pula dipentaskan di Malang. Salah satu spesifikasi dari wayang topeng Malang adalah konsistensinya dalam melakonkan varian-varian cerita Panji. Bisa jadi konsistensinya yang demikian tidak belangsung secara tiba-tiba, namun memiliki akar tradisi yang panjang. Prasasti Pabanyolan menjadi petunjuk bahwa cerita Panji telah familer serta populer di kalangan warga Malang semenjak masa Majapahit, yang diekspresikan ke dalam berbagai cabang seni, tidak terkecuali ke dalam seni pertujukan berproperti topeng yang telah hadir di daerah ini paling tidak pada abad X M.

Secara umum -- dalam lingkup budaya Jawa masa lampau -- didapati informasi dari sumber data susastra tentang adanya sendra-tari berlakon Panji pada masa Majapahit, antara pada kakawin Nagarakretgama (XCI,4) dan Wangbang Wideya (I.59a-68b) (Cahyono, 2010: 6-7). Nagarakretagama (XCI.4) tidak menyebut judul lakonnya. Kendatipun demikian, dapat diprakirakan bahwa lakon yang dipentaskan adalah cerita Panji. Hal ini diindikatori oleh tam-pilnya tokoh Shori (ksatria) dan tekes (putri). Demikian pula kitab Wangbang Wideya (I.59a-69b) juga tak menyebut judul lakonnya. Hanya disebut beberapa tokoh peran seperti Kulante, dang Guru dan pelawak, yakni para tokoh peran pada cerita Panji tertentu. Pementasan lakon Panji dalam pertujukan raket kiranya baru dimulai pada masa Majapahit. Sebelumnya, lakon Panji lazim dimainkan dalam seni pertinjukan gambuh (Cahyono, 2010:20).

B. Inspirasi  Wayang Orang dan Wayang Kulit

Warga setempat acap menyebut sendra-tari topeng Malang dengan 'wayang topeng' atau 'topeng dalang'. Di balik penyebutannya yang demikian tergambar adanya pengaruh dari bentuk seni pertujukan lainnya, yaitu: (a) wayang orang (wayang wong) dan (b) wayang kulit. Unsur sebutan 'wayang' dalam 'wayang topeng' membayangkan adanya pengaruh seni per-tunjukan wayang, khususnya wayang orang (wayang wong). Pengaruhnya terhadap wayang topeng bisa difahami, mengingat data prasasti menunjukkan bahwa wayang orang telah hadir sejak abad IX Masehi. Berkenaan dengan itu, prasasti Wimalasrama yang ditulis atas perintah Balitung menginformasikan pementasan wayang wwang (wayang orang) berlakon 'Bhima ya kumara'. Sayang sekali dalam konteks ini tidak diperoleh kejelasan tentang 'apakah terdapat tokoh peran tertentu atau malah seluruh tokoh peran yang mengenakan properti topeng'.  

Prinsip-prinsip pokok wayang orang, yaitu diperankan oleh manusia dan adanya lakon (cerita) yang dipentaskan, berlaku pula dalam wayang topeng Malang. Konon di masa Hindu-Buddha pemeran sendra-tari topeng cenderung pria, sehingga tokoh peran wanita diperankan oleh laki-laki (travesty). Hal ini tergambar dalam susastra Pararaton, yang menyatakan bila Hayam Wuruk memerankan tokoh peran wanita, sebutannya adalah 'pager antimun'. Kecen-derungan demikian kini tidak atau jarang terjadi. Kalaupun terjadi, aih-alih berlangsung pada teater ludruk. Sebagai drama-tari, wayang topeng Malang mementaskan cerita/lakon tertentu, utamanya lakon Panji. Sementara di daerah-daerah lainnya, lakon wiracarita asal India, yaitu Mahabarata dan Ramayana, maupun lakon 'Menak' asal Timur Tengah juga menjadi materi cerita dalam sendra-tari topeng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun