Topeng dalang Malang kategori luar keraton adalah salah satu kesenian yang mampu bertahan hidup pasca masa Hindu-Buddha, bahkan eksistensinya berlanjut hingga sekarang. Wayang topeng berlakon wiracarita asal India (Mahabarata dan Ramayana) turut surut sei-ring terjadinya dekadensi pengaruh kebudayaan India di lingkungan keraton. Tidak demikian halnya dengan wayang topeng berlakon Panji -- suatu lakon dengan latar anakronisme sejarah regional Jawa masa Jenggala-Kadiri (Panjalu) serta masa keemasan Majapahit. Surut hingga runtuhnya pengaruh kebudayaan India itu tak menyebabkan wayang topeng berlakon drama-sejarah Jawa yang ditokohi oleh para Panji surut total dan kemudian ditinggalkan oleh para pemangkunya, sebab ia tidak dirasakan sebagai produk seni yang dibentuk dari anasir budaya asing.
Pasca masa Hindu-Buddha topeng dalang Malang melanjutkan eksistensinya, baik di desa-desa yang pada masa sebelumnya menjadi tempat keberadaannya maupun di desa-desa lain yang mulanya bukan tempat keberadaannya. Ada dua kawasan konsentrasi keberadaan topeng dalang, yaitu: (1) lembah dan lereng Gunung Tengger wilayah Distric Tumpang (kini meliputi Kec. Pakis, Jabung, Tumpang dan Poncokusumo); (2) lembah hingga lereng Gunung Kawi dan lereng utara Pegunungan Kapur Selatan wilayah Distrik Sengguruh (kini meliputi Kec. Kromengan, Sumber Pucung, Kalipare dan Pakisaji). Disinilah posisi keberadaan topeng Slilir berada, yang dimulai oleh Mbah Noto. (Artikel akan ditulis terpisah dari seri tulisan ini ).
Selain itu, meski tidak sebanyak di kedua kawasan tersebut, ketika itu topeng dalang juga hadir di Kec. Karangploso, Lawang, Turen dan Wajak. Kendatipun Karangploso bukan merupakan kawasan sentra topeng dalang, namun pada awal abad XX di salah satu desa pada Kecamatan ini tampil Kek Reni, pimpinan sanggar topeng dalang di Polowijen sekaligus guru tari dari para calon pimpinan sanggar tari topeng di wilayah Kec. Jabung-Tumpang dan Pakisaji. Â
Setelah kita kehilangan informasi mengenai topeng dalang Malang dari Masa Perkem-bangan Islam (XVI-XVIII M.), informasi yang cukup rinci tentangnya didapati kembali pada Masa Imperalisme Sisipan Inggris (1810-1815). Dalam Bab VIII pada buku 'History of Java' karya Thomas Stamford Raffels dipaparkan perihal seni pertunjukan topeng. Namun sayang tidak disertai keterangan menanai seni topeng di daerah mana yang dipaparkannya. Namun, jika menilik karakternya, yakni topeng dalang berlakon Panji, dimana pemainnya berbusana ala busana kuno, mengingatlkan kita pada topeng dalang di Malang.
Dinyatakan lebih lanjut dalam buku itu bahwa tokoh peran tanpa kecuali diambil dari cerita petualangan Panji -- pahlawan favorit di dalam cerita Jawa. Dalang menjadi sutradara sekaligus penyampai dialog. Para pemain tinggal menyesuaikan tindakkannya dengan kata-kata yang diucapkan dalang. Dalam kasus tertentu, dalang yang sudah amat mengerti tentang kejadian yang paling utama, gambaran dan kata-kata tentang sejarah, melengkapi dialog para pemain yang masih belum siap. Keseluruhan pertunjukan lebih menampilkan sifat sendratari. Percintaan dan perang adalah tema yang senantiasa ada, dan pertempuran antara dua pemim-pin yang bertentangan biasanya menjadi menutup pagelaran. Satu grup tari topeng biasanya terdiri dari 10 orang di samping dalang, dengan komposisi empat orang memainkan waditra gamelan dan enam lainnya memainkan karakter. Mereka melakukan pertunjukan pada malam hari, dan [kala itu] dibayar 10 rupe (dua puluh lima shilling) berikut makan malam.
Gambaran yang lebih rinci mengenai kesenian topeng Malangan, didapati dalam buku Th. Pigeuad "Javaansse Volksvertoningen", 1938. Paparan didasarkan pada obyek pengamat-an terhadap wayang topeng di Malang Timur dan informasi dari Bupati Malang R.A.A. Surio Adiningrat. Â Tokoh-tokoh yang digambarkan semuanya dari cerita Panji, yang terdiri dari 36 tokoh peran. Tokoh yang istimewa adalah Klana Bapang, yang berhidung sangat panjang dan lancip. Cerita-Panji menjadi pokok tema pada lakon-lakon wayang topeng di Malang. Hanya sesekali terjadi ada lakon yang diambil dari wayang purwa ataupun cerita Ambiya. Kala itu Bupati Malang mempunyai seperangkat topeng yang indah.
Pertunjukan wayang topeng secara berkeliling (ambarang) jarang didapati di Malang. Waktu pementasan pada malam atau siang hari, kecuali di malam Jumat. Pementasan topeng biasanya pada acara perhelatan keluarga dan ketika pesta buka giling pabkrik gula. Gamelan pengingnya berjenis pelog, dengan alasan jenis ini lebih disukai dalang. Gending pengiring bagi Prabu Klana adalah gagaksetra, lalu giro-Jawa, kemudian biskalan. Gending pengiring untuk Gunungsari adalah bedat (barang) atau gandariya. Gending pengiring 'perang gagal' antara Gunungsari dan Klana adalah cerbonan, adapun pada perang yang sebenarnya adalah ayak-ayakan. Topeng Malang digambarkan dengan mulut tertutup. Ketika itu perajin topeng yang utama bertempat di Karangploso. Tekes sebagai penutup kepala tidak dikenakan disini. Tropong Klana Bapang dihias dengan garuda mungkur. Mata kaki pemian utama mengena-kan gongseng, yang ketika menari kakinya dijejakkan ke lantai, sehingga menimbulkan suara gemerincing -- suara yang amat disukai oleh warga Jawa Timur dan Madura.
Bupati Malang R.A.A. Soerio Adiningrat pernah memiliki koleksi kriya topeng kayu yang indah sebanyak 21 buah, yang dikoleksinya sejak tahun 1928. Â Namun pada tahun 1938-an benda-benda koleksinya ini telah berpindah tangan menjadi koleksi Java Instituut. Kurang jelas apakah benda-benda berharga itu kini masih berada di Museum Nasional Jakarta atau-kah telah hijrah ke Negeri Belanda. Hal serupa terjadi pada seni kriya topeng karya seniman topeng legendaris Kek Reni di Polowijen, yang kini hanya tinggal sebuah yang dimiliki oleh keturunannya. Barangkali tinggal seperangkat topeng di Pucangsongo yang masih terpelihara baik di tangan pemiliknya. Hal yang sama juga terjadi pada properti Topeng Asli Slilir karya Mbah Noto yang keberadaannya juga telah berpindah tangan. Penelusuran terus dilakukan pegiat yang merupakan anak cucu Mbah Noto, semoga segera diketemukan kembali keberadaannya.