Unsur sebutan 'dalang' dalam 'topeng dalang' membayangkan hadirnya penutur cerita (dalang) pada pementasan wayang topeng di wilayah Malang. Dalang bukan hanya sebagai penghantar kisah, namun juga menyuarakan dialog dari masing-masing tokoh peran. Sebagai-mana halnya dalam wayang kulit, hampir semua tokoh peran tak berbicara. Pembicaraannya dituturkan oleh dalang. Oleh karena topeng menutupi seluruh muka pemain, maka menjadi kurang jelas apabila dialog disuarakan olehnya. Indikasi adanya pengaruh wayang kulit juga tampak pada posisi berdiri dari tokoh peran, yang cenderung tidak menghadap lurus ke depan (enface), melainkan enprofile yaitu sedikit serong (sekitar ke depan). Posisi berdiri tokoh peran yang demikian juga dijumpai dalam relief di beberapa buah candi pada masa Majapahit di Jawa Timur, khususnya relief yang mempunyai gaya pahat 'wayang style', seperti terdapat di Candi Jago, Penataran, Tigawangi, Surowono, Sukuh, dsb.  Selain  itu busana dan aksesori yang dikenakan oleh para tokoh peran dalam wayang topeng Malang juga menyerupai tokoh-tokoh peran dalam wayang kulit. Bahkan bila dirunut lebih jauh ke belakang, dalam sejumlah hal menyerupai busana dan aksesori pada ikonografi (seni arca) masa Hindu-Buddha.
Pengaruh atau inspirasi dari wayang kulit terhadap wayang topeng dapat dimengerti, mengingat bahwa seperti halnya wayang wwang, kahadiran wayang kulit dalam budaya Jawa lebih awal ketimbang wayang topeng. Sumber data tekstual, tepatnya kakawin Arjunawiwaha yang disurat pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1049 M), dengan jelas menyebut ada-nya pementasan wayang kulit. Sementara wayang topeng baru marak dipentaskan pada masa Majapahit (abad XIII-XVI M) dan sesudahnya. Wayang topeng atau topeng dalang dengan demikian bukanlah karya seni yang hadir dalam suasana baru sama sekali, namun merupakan 'buah kombinasi kreatif (mixing)' dari wayang orang dan wayang kulit, yang secara khusus menjadikan topeng sebagai properti utama dalam pementasan seninya. Â Â Â
C. Persebaran dan Dinamika Topeng Dalang Malang
1. Topeng Dalang Keraton dan Luar Keraton
Wilayah persebaran budaya Jawa pada Era Kemonarikhian dapat dikategorikan dalam dua lingkungan, yaitu kebudayaan: (1) keraton, dan (2) luar keraton. Sendra-tari topeng masa lalu di Malang berkembang baik di lingkungan keraton maupun di luar keraton. Cukup alasan untuk menyatakan adanya sendra-tari berproperti topeng di lingkungan keraton, karena dalam kurunwaktu delapan abad pada masa Hindu-Buddha tempat-tempat tertentu di daerah Malang beberapakali dijadikan pusat pemerintahan (kadatwan) kerajaan, baik kerajaan yang bersatus indipenden ataupun kerajaan bawahan (vassal).
Berturut-turut, pada abad VIII hadir kadatwan Kanjuruhan di lembah Kali Metro, dan kemudian 'turun status' menjadi karakryanan dengan pusat pemerintahan digesar sedikit ke arah utara di lembah Brantas. Dua abad kemudian hadir kadatwan pertama kerajaan Mataram masa Isanavamsa, tepatnya paro pertama pemerintahan Pu Sindok atau Sri Isana (929 hingga 940-an M.). Dalam kurun waktu 70 tahun (1222 s.d. 1292 M.) hadir lagi kadatwan Tumapel di Kutaraja dan kemudian direlokasi ke Singhasari. Pada jaman Majapahit (XIV s.d. XV M.), kendati Malang tidak lagi menjadi lokasi pemerintahan pusat, namun setidaknya terdapat dua pusat pemerintahan vassal di sini, yakni pusat vassal kerajaan Majapahit di Tumapel dan di Kabalan. Pada akhir masa Hindu-Buddha, tepatnya pada paro pertama abad XVI M, di daerah Malang Selatan hadir kadatwan suatu kerajaan merdeka bernama 'Sengguruh' atau 'Tanjung Sengguruh'. Di masing-masing lingkungan dalam (watek i jro) pada pusat pemerintahan itu, keculai mungkin di Era Kerajaan Kanjuruhan, besar kemungkinan terdapat seni pertunjukan berproperti topeng yang melakonkan cerita Panji atau cerita-cerita lain yang menginduk pada wiracarita India.
Sejauh ini kita belum menemukan sumber data artfektual maupun visual yang secara jelas menyatakan adanya seni tari atau sendra-tari berproperti topeng. Kendati demikian, jika kita melakukan studi komparasi sinkronis, bukan tidak mungkin bentuk kesenian itu hadir di lingkungan keraton Sunghasari maupun Majapahit. Data artefaktual yang bisa dijadikan pem-banding untuk itu adalah arca Bhairawa pada Pura Kbo Edan dan arca Catuhkaya yang juga berkenaan dengan Bhairawapuja di Pejeng. Daerah Pejeng yang berada di kawasan Badahulu (kini menjadi 'Bedahulu') konon adalah sentra budaya dan sekaligus kadatwan pada akhir dinasti Warmadewa. Patung Bhairawa yang sangat besar di Pura Kbo Edan -- sebagai arca perwujudan raja terakhir Warmadewawamsa bernama 'Astasuraratnabhumibanten' -- dengan jelas meragakan adegan tari dengan properti tari berupa topeng. Batas tempel topeng di wajah penari dan adanya tali ikat di batok kepala bagian belakang tak bisa memungkiri bahwa tarian sakral dalam Bhairawapuja ini mengenakan topeng sebagai properti tari. Hal serupa berlaku pula untuk arca Chatuhkaya.
Masa hidup dari Astasuraratnabhumibanten sejaman dengan Adityawarman. Menurut kakawin Nagarakretagama, Gajahmada dan Adityawarman adalah panglima Majapahit da-lam ekspansi penaklukkan Badahulu. Sebagaimana halnya raja  Astasuraratnabhumibanten di Bali, ksatria Majaphit bernama 'Adityawarmman' itu adalah pula penganut Bhairawapuja, terbukti arca perwujudannya berupa
 dalam ukuran amat besar. Dapat dibayangkan bahwa kala itu di kadatwan Majapahit juga terdapat tari sakral dalam konteks Bhairawapuja. Hal serupa bukan tidak mungkin ada di kadatwan Singhasari, mengingat bahwa raja terakhir-nya, yakni Kretanegara, berdasarkan informasi Pararaton maupun arca perwujudannya yang berbentuk Bhairawa, adalah seorang pelaku taat Bhairawapuja.  Â
Jejak awal keberadaan seni pertunjukan berproperti topeng kategori luar keraton anta-ra lain tergambar dalam prasasti Himad dan Dinoyo A yang berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok. Seni pertunjukan berproperti topeng yang dipentaskan sebagai penyemarak upa-cara penetapan desa sima tersebut bisa jadi merupakan kesenian luar keraton. Demikian pula penggubahan varian cerita Panji di batur Pajaran seperti tersurat dalam prasasti Pabanyolan adalah aktifitas kesusateraan Panji yang dilakukan di luar keraton (dharma lpas). Bila benar demikian, kala itu di lembah sisi selatan Tengger pada wilayah Malang Timur telah terdapat komunitas sendra-tari topeng berlakon Panji yang masuk dalam kategori kesenian topeng luar keraton -- kadatwan Majapahit berada jauh di middle Brantas, yaitu di Trowulan sekarang.
Kendati merupakan dua lingkungan seni yang berlainan, namun kesenian luar keraton tak terpisah hubungan sama sekali dengan pemerintahan kerajaan. Pihak keraton memainkan peran sebagai maecenas bagi kesenian, baik kesenian keraton maupun luar keraton. Terlebih bila sang pengusanya memiliki kepedulian terhadap kesenian. Seorang penguasa pada vassal Majapahit di nagari Kabalan bernama 'Kusumawarddhani' atau disebut juga 'Bhre Kabalan' oleh prasasti Waringin Pitu (1447 M) digambarkan sebagai piawi dalam memainkan tari dan pelantun kidung yang bersuara merdu (Cahyono, 1996:54). Sebagai seorang seniwati, cukup alasan bagi interpretasi bahwa ratu yang cantik ini menaruh perhatian untuk memajukan kese-nian di nagarinya, tidak terkecuali sendra-tari topeng berlakon Panji.
Perhatian Kusumawarddhani terhadap seni-budaya seakan menjejaki kebijakan ayah-nya, yakni maharaja Hayam Wuruk. Sebagai seorang pelaku seni, yang menurut Pararaton (VIII) piawi dalam memainkan tari topeng (anapuk) dan menurut Nagarakretagama (XC1.5) trampil dalam pertunjukan raket (Pigeaud, 1938: 125-126, 350; Cahyono, 2009:107), Hayam Wuruk sangat menaruh perhatian terhadap kesenian. Hal ini tampak pada penyelenggaraan pekan seni di lapangan Bubad setiap bulan Caitra (antara Maret-April), selepas masa panen. Pada kesempatan ini seniman dalam keraton dan seniman luar keraton bertemu dalam sebuah festival kesenian yang disemarakkan oleh keduanya. Hal itu adalah contoh padamana pihak keraton memberi kontribusi untuk pengembangan seni-budaya. Walau demikian, bukan ber-arti eksistensi atau hidup-mati kesenian sepenuhnya bergantung pada uluran tangan keraton. Kontribusinya bagi kesenian keraton terbilang signifikan, namun tidak sedemikian kuat bagi kesenian luar keraton. Terbukti, ketika budaya Hindu-Buddha mengalami dekadensi, bahkan nyaris runtuh pada abad XVI, kesenian keraron turut merosot dan runtuh, sedangkan kesenian luar keraton tetap eksis hingga memasuki Masa Pertumbuhan dan Perkembangan Islam.
2. Dinamika Topeng Dalang di Pedesaan Malang Â