Cinta buta. Tak tahu benar dan salah. Tak bisa dinalar. Lupa umur. Lupa tanggung jawab. Semua bertopeng nikmat lezat. Panggung dunia.
Kau sebar pembenaran. Apapun harus benar. Tak peduli, yang kau lawan itu menjaga kehormatanmu. Harkat dan martabatmu. Karena aku masih ada, menjaga amanat suci.
Alasanmu harus menang. Yang benar, harus dipersalahkan. Seolah dalang utama. Yang waras dianggap menghalangi. Karena mengganggu nikmatmu dengannya. Dan semua kata dipelintir. Yang baik tak diakui. Semua sudah dihapus. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Percaturanmu yang buta. Yang kau puja dia. Tapi kenapa, bukan dia yang kau tuntut? Untuk memberi hidupmu bahagia. Padahal nikmat lezatmu untuknya? Mana warasmu? Mana cintamu dulu?Â
Tak ada nalar. Yang dituntut yang kau sengsarakan. Harus ini itu. Tak masuk akal. Sementara dia enak enakan. Maunya memetik manis lezat. Setelah ini semua kuberikan.Â
Pasti dia sutradaranya. Mau enak, mau lezat tanpa usaha. Kupasrahkan saja. Karena keadilan Tuhan akan bicara. Hewan saja tak sedurjana sang arjunamu. Tapi sihirnya, telah membuatmu tunduk patuh. Jadi zombi yang terus menyerang diriku. Kau sudah bunuh aku dengan dustamu. Tapi kau peras aku dengan segala caramu. Yang maha benar, atas segala dusta yang ditumpuk.
Konflik percaturan sebelum berpisah. Sudahi saja. Aku memang pura pura bodoh. Dilawanpun, sekarang rugi. Tapi semua topeng akan terbuka. Siapa yang dzolim.Â
Dan aku sudah mengikhlaskan mu pergi. Biar keadilan Illahi yang membalas. Tuhan tahu kok. Gusti Allah Mboten Sare. Segala kebejatanmu bersamanya, apa Tuhan tak tahu?Â
Dan apa kamu tahu, dusta yang kau tuduhkan padaku itu? Katamu aku raja suudhon. Bagaimana jika kebenaran dibuka dimatamu yang buta? Sudah siap?
Aku tak akan menerimamu kembali, karena fitnahmu lebih kejam, dan puas puaskan diri, menumpuk balas dendam mu. Agar puas. Dan tercapai bahagia, menari diatas derita karena dustamu.
Ini mudah yang dipersulit. Ini gampang yang diperumit. Ini hanya soal cinta tentang kita. Tak cocok ya sudahi saja. Tak sejalan, tak perlu drama. Bilang saja waktu itu, tak talak, selesai. Aku tak mempertahankanmu.
Tapi kamu senang berkonflik. Yang susah, kamu sendiri. Kamu tebar benih benih masalah. Kau cari dukungan. Agar semua orang, menuding aku bejat. Padahal apa gunanya? Mereka orang luar yang tak punya kuasa.
Inilah percaturan cintamu. Silahkan, aku tak akan melawan. Aku pasrah. Drama ini sia sia. Tapi demi kepuasan dendammu, silahkan saja. Dibalik ini, pasti ada keadilan.
Jika aku balas, hanya ukuran manusia. Tapi jika azab Allah yang bicara, dusta apa lagi yang akan kau ceritakan?Â
Aku pernah mencintaimu. Aku sayang padamu. Tapi caramu melukai aku. Pergi saja, jangan ganggu hidupku. Aku bertanggung jawab sesuai takaran Keyakinkanku. Dan itu syar'i. Berdasar dalil aqli.Â
Walau dianggap aku tak tegas. Tak teges. Tapi aku ingin berkah Illahi. Pergilah saja, bersenang senanglah bersamanya. Itu pilihan hidupmu. Aku tak menghalangimu.Â
Tak perlu drama. Tak nyaman denganku, ya akhiri saja. Buat apa bersakit sakit dalam dendammu. Silahkan pergi, dan aku tak akan mengganggumu lagi.Â
Tapi jangan menuntut aku lagi. Karena dihatimu, bukan aku lagi. Yang kau beri nikmat itu dia, untuk apa lagi mengusik rejeki orang yang kau dzolimi? Disuruhnya? Tak takutlah azab Illahi?Â
Percaturan sebelum berpisah. Mari dinalar dengan jernih. Permudah saja. Tak perlu drama rumit. Dibikin sederhana. Agar nyaman hidup selanjutnya. Karena dendam dan dusta bukan solusi. Itu akan menyakiti, sepanjang hidupmu. Jauh dari berkah, jauh dari Keridhoan Illahi.
Selamat Jalan mantan kekasihmu, jangan pernah kembali hanya karena kelak kau menyesal dengan pilihanmu sendiri bersamanya. Ini bukan permainan. Ini bukan dolanan. Tuhan tahu, apa yang kamu tidak tahu.
Malang, 11 Januari 2021
Oleh Eko Irawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H