Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Malam Malamku Seperti Ini, bagaimana dengan Dirimu

10 Januari 2021   03:17 Diperbarui: 10 Januari 2021   03:31 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam malam ku, dokpri Eko Irawan

Tradisi malam malamku

Buku adalah sahabat setiaku. Mereka menemani malam malam ku. Ini kutulis bukan sombong lho. Untuk apa sih malam-malam kayak gini disombongkan? Sebuah pola hidup yang kurang sehat.

Kenapa? Karena tidur kurang dari 2-3 jam sangat tidak direkomendasi dokter. Besok pagi jadi ngliyeng, tekanan darah naik. Mudah emosi, apalagi bangun tidur ditanya sesuatu yang menyinggung perasaan. Pasti ngamuk.

Acara begini juga mempengaruhi kegiatan pagi. Kurang fokus dan jadi si raja ngantuk. Akhirnya jadi penikmat kopi dan penikmat rokok, saat otak mulai kurang asupan istirahat. Inilah malam malam ku, bagaimana dengan dirimu?

Bercengkrama dengan malam 

Malam hari seharusnya tidur. Jaga kesehatan, terutama selama masa panfemi covid 19. Namun pola kebiasaan saya sejak SMP adalah Sinau melebihi kapasitas dari apa yang dibaca teman temanku.

Apa yang saya baca, tentunya berdasar keminatan sesuai apa yang bikin saya penasaran. Mulai biografi tokoh sampai UFO. Mulai misteri hingga tekhnologi.

Hanya satu yang kurang dari saya, ilmu ilmu olah raga. Saya bukan benci. Karena olah raga membuat saya dikata banci. Saya mengalami buta mata sebelah kiri bawaan dari lahir. Kaca mata saya tebal sudah sejak kelas 6 SD. Saat kasti, volley atau sepak bola, tenis meja atau bulu tangkis, refleksi mata saya trouble. Tak mampu membaca kecepatan gerak bola. Mata melihat di kanan, kenyataannya bola masih jauh. Dan saya bergerak di Medan kosong.

Tentunya ini lucu dan jadi bahan becanda dan bully. Saya tak tersinggung, karena ini cacat alamiah sejak lahir yang bagaimanapun harus saya terima dengan ikhlas. Dokter mata RSSA malang, sempat memotivasi saya waktu itu, ditahun 1987, entah siapa namanya, agar saya tidak putus asa walau dibully sebagai banci kemenyek, dan harus dimaklumi, yang menghina saya seperti itu tidak tahu kekurangan fisik panca Indra saya. 

Jadi akhirnya, saya tak punya passion dalam olah raga. Namun untuk menjaga kebugaran, saya tetap olah raga. Dulu sepeda, karena waktu itu butuh duwit untuk beli Al Qur'an lengkap, kumpulan hadist nabi, dan biografi nabi Muhammad SAW, maka sepeda balap hadiah ultah dari Alm Nenek saya jual. 

Kebiasaan bercengkrama dengan buku dimalam hari adalah kegiatan malam malamku. Walau dengan keterbatasan fisik, saya tetap lakukan. Alhamdulillah, walau sudah tak kuliah, bukan guru dan bukan dosen, kapasitas saya sebagai penulis Kompasiana bisa didongkrak dengan Hobby membaca malam malam seperti ini. 

Bagaimana dengan sahabat sahabatku? Tentunya kemampuan mata tidak separah aku, seharusnya malu dong tidak baca buku walau hanya selembar saja.

Perjalanan jadi penulis

Buku memang jendela dunia. Dulu sempat ada masa dimana inspirasi buku bukuku ternyata tiada guna. Kenapa? Saya mulai masuk dunia kerja. Tugasnya rutin. Dikantor itu, mengikuti prosedur. Inovasi baru tidak diakui. Bahkan dianggap menyalahi prosedur tetap suatu program. Saya pernah dipanggil bisa besar gara gara berinovasi, dibilangnya ngarang, sok tahu dan cari sensasi.

Kesempatan menulis saya juga pernah mati, gara gara dulu kirim naskah pakai mesin ketik dan kirim via pos tak ada yang yang diterima majalah atau koran. Dianggap gabetmut. Nggak bermutu. Padahal malam malam dulu ya tak tik tak tik. Mengetik naskah. Kirim dan kirim. Tapi tidak membuahkan hasil. Terima kasih semacam e-sertifikat sekarang, juga tak pernah saya dapat. Tiap gajian beli kertas dan pita mesin ketik. Bahkan sampai hutang sana sini gara gara kirim naskah hampir 2 rim.

Pengalaman buruk, tapi saya tidak menyesal. Karena itu proses pendewasaan saya. Biarkan itu jadi kenangan. Mungkin ketikan saya sudah jadi bungkus kacang. Sungguh apresiasi tinggi nasib penulis tak dikenal masa itu, yang mencoba peruntungan jadi penulis. Dan alhamdulillah gagal total. Padahal saat itu tak bela belain puasa dan tidak bisa ngajak jalan jalan pacar, demi beli kertas HVS buat ngetik.

Beruntung sejak 2018 saya bisa bergabung dengan Kompasiana. Walau sampai detik ini belum pernah dapat k reward untuk sekedar beli paket data buat proses menulis, namun apa yang saya rintis sejak kecil itu berbuah apresiasi. Soal hutang ya tetep saja. Dulu hutang buat bayar jasa pos. Sekarang hutang pulsa paket data buat beli smartphone dan amunisinya, agar dapat tetap menulis.

Ya begitulah saya. Sudah kadung Hobby, walau tak ada yang membayar saya dalam proses literasi ini, tapi saya masih bangga. Entah sekarang ada yang baca atau tidak, saya tetap menulis dan menulis. Siapa tahu amal literasi ini menginspirasi banyak pembaca. Amal ilmu pada orang tak dikenal, dan dari mereka melimpahkan pahala, sekalipun wujudnya bukan materi. Semoga. Karena kekayaan yang saya punya adalah ilmu hasil belajar ini.

Saya memang kembangkan ruang kelas alternatif dan curhat ngopi ditulisan tulisan saya. Juga ide sobo Embong dan keliling keliling ke kampung kampung tematik. 

Dari segi materi, ya tetap tak ada. Hanya nambah kenalan baru, silaturahmi dan sejauh ini ya tetap berkarya maksimal berbasis hutang dan mbayar hutangnya bukan dari proses menulis. Ya, semoga ada solusi dari berkorban melekan tiap malam ini. Hasil pasti tak akan mengingkari usaha.

Perjuangan belum selesai dan semangat ini terus dipacu dengan cara berpikir besar. Setahun lalu ketemu teman SMP, yang sekarang bekerja di perusahaan asing. Dia tanya proses keempuanku menulis.

Dari segi finansial, saya dan dia bagi bumi langit. Dia bisa beli rumah diatas 1 m, punya jaringan toko komputer, mobilnya sport keren. Dompetnya tebal. Isinya kartu ATM dan kartu untuk ambil uang. Tapi saya, Alhamdulillah masih bisa makan seadanya. Rumah kontrak. Kalau habis masa kontraknya hutang kompensasi ke bank. Hingga 10 tahun masa pengabdian dinas saya, seluruh energi saya disitu untuk bayar bunga utang. Pensiun baru lunas. Sementara pertengahan tahun ini, soal rumah kontrakan saatnya bayar lagi atau kalau tak bisa harus move on pindah kontrakan lagi. 

Sorry, kok saya curhat. Tapi inilah potret hebat penulis gratisan yang masih mau idealis menjadi penulis tak dikenal dan tugas profesionalnya tak dapat imbalan dalam bentuk apapun yang layak. 

Jadi kadang saya malah heran, beberapa tahun lalu, saya melihat wartawan Tablo Abal Abal, nunjukin kartu pers, datang ke kantor saya, minta hewes hewes pada pak boss saya. Dia datang bak orang kejaksaan. Bawa data seolah olah ada tindak pidana. Kalau tidak dikasih, ancam dan peras. Kayak preman Mafioso gitu. Jika tak dikasih, mereka terbitin tablonya. Kejadian ini terjadi sebelum saya jadi kompasianer. Kira kira jaman marak tabloid bertema aneh aneh beberapa tahun lalu. Kalau era sekarang, wartawan bodrek seperti itu sudah tiada tempat, karena Tablo aneh sudah tidak punya pangsa pasar. Yang belu menurun. Semua baca dari smartphone masing masing.

 Sebagai sesama penulis, saya malu banget dengan cara cara seperti itu. Jadi sayapun malu jika harus minta hewes hewes dengan cara licik dan tak bermoral seperti itu. Saya anggap menulis sebagai Hobby. Sama juga dengan orang Hobby mancing. Dia bayar. Beli alat Yo beli sendiri. Duduk berjam jam belum tentu dapat ikan atau dapat hadiah dari lomba memancing. Sebelum pulang ditabluk istrinya, mampir pasar dulu beli ikan segar. Itulah saat bicara Hobby. Tak ada yang mahal dari dunia Hobby, termasuk menulis. Semua murah dan rela kocek pribadi dalam dalam.

Bagaimana proses menulismu, apakah sudah mencapai freedom Finansial? Semoga iklim dunia literasi diluar dunia pendidikan dan kampus ini punya tempat berkarya yang semakin baik. Semoga ada platform tertentu, memberi ruang usaha ekonomi kreatif bagi masa depan para penulis tak dikenal ini.

Para penghobby penulis ini memang punya profesi tetap sebagai sumber penghidupannya, sehingga ribuan karyanya bisa jadi tak dapat apa apa. Hidupnya dia dari usaha entah kerja, hutang atau pinjam bank. Dan alangkah indahnya jika dunia literasi ini juga memberi penghidupan layak bagi para pencinta literasi ini. Tentunya sebuah konsep adil, merata dan transparan. Semoga ada keajaiban diwaktu mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun