Perkembangan budidaya nila di slilir, merupakan upaya kreatif masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangan, meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus melestarikan budaya makan ikan sebagai lauk sejak seribu tahun yang lalu. Tentunya 1000 tahun yang lampau bukan ikan nila, karena ikan nila masuk ke Indonesia sekitar tahun 1969 baru dipelihara diperairan air tawar Indonesia.
Pemilihan ikan Nila sebagai komuditas unggulan tentunya merupakan inovasi, terutama dengan pemanfaatan kolam bioflok, sehingga tehnologi ini lebih hemat tempat dan biaya pembuatan kolam budidaya. Cara budidayanya pun berbeda, karena diera sekarang sudah mengunakan tehnologi terbaru.
Rekonstruksi sejarah makan ikan di pulau Jawa dapat ditemui dalam beberapa prasasti Keluaran seribu tahun yang lalu. Saat peresmian sebuah Sima, atau daerah bebas pajak pada masa tersebut, diadakan tasyakuran, salah satunya lauk ikan.
Ikan menjadi makanan favorit sejak dulu kala. Sebagaimana disebut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, kekayaan ikan di Kepulauan Nusantara membuat kagum para penjelajah asing. Marcopolo misalnya. Pelaut asal Italia itu sempat menginjakkan kaki di tanah Sumatra pada akhir abad ke-13. “Ikan di kawasan Asia Tenggara merupakan yang terbaik di dunia,” kata Marcopolo.
Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi ke Nusantara pada abad ke-15 M sempat menggerutu langka dan mahalnya beras, daging, maupun sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara. Namun, ikan murah dan melimpah di mana-mana.
Jauh sebelum kedatangan mereka, data dari masa kerajaan-kerajaan kuno sudah membuktikan banyaknya ragam ikan yang dikonsumsi masyarakat kuno. Arkeolog Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa menyebut orang-orang pada masa itu telah memanfaatkan ikan tawar dan laut untuk dikonsumsi.
Ikan tawar, seperti kepiting (hayuyu), udang sungai (hurang), sejenis ikan (wagalan, kawan-kawan, dlag). Ikan laut adalah kepiting laut (gtam), cumi (hnus), kerang-kerangan (iwan knas), sejenis ikan laut (kadiwas, layar-layar, prang, tangiri, rumahan, slar). Ada pula beberapa jenis ikan yang tidak diketahui habitatnya, yaitu bijanjan, bilunglung, harang, halahala, dan kandari.
Sumber prasasti juga menyebutkan beberapa jenis ikan yang diawetkan dalam bentuk dendeng (deng) atau rasa asin (asin-asin) sebelum dikonsumsi. Kedua jenis itu, baik ikan segar maupun yang telah dikeringkan, menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar.
Data prasasti menggambarkan sajian dari ikan selalu ada dalam upacara penetapan sima. Keterangan itu ditemukan dalam Prasasti Taji (823 Saka/901 M), Panggumulan (824 Saka/902 M), Sangguran (850 Saka/928 M), Paradah (865 Saka/943 M), dan Rukam (829 Saka/907 M).
Pada prasasti-prasasti itu tertulis asin asin dain kakap (ikan asin kakap), kadiwas, bilunglung, hala hala, layar layar , dan kawan. Hewan air lainnya dijumpai dengan istilah hurang (udang).
Prasasti era ini jika diperhatikan angka tahunnya adalah pada masa Mataram Kuno. Prasasti Turyyan yang digunakan dasar keberadaan Bakalan Krajan, yang dahulu disebut wanua Gurung gurung adalah masa Raja Mpu Sindok, yang notabene kelanjutan Mataram Kuno yang berpindah ke timur pulau Jawa setelah terjadi Mahapralaya di wilayah asal mataram Kuno.