Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sejarah Kuliner Ikan: Sejarah 1000 Tahun Konsumsi Ikan di Bakalan Krajan Kota Malang

10 Desember 2020   13:53 Diperbarui: 10 Desember 2020   14:04 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri Foto Eko Irawan : Ikan Nila di Kolam Nila Bolang Kompasiana

Ide membangun Sentra budidaya ikan Nila, di dusun Slilir RW.III Kelurahan Bakalan Krajan kota Malang, merupakan upaya swadaya masyarakat setempat mencukupi kebutuhan konsumsi ikan untuk keluarga secara mandiri, menjadikan budidaya ikan nila sebagai wahana pemberdayaan masyarakat dan membuka peluang lapangan kerja serta menjadikan Kampung Nila Slilir sebagai destinasi wisata Budidaya dan kuliner Nila. 

Sejarah Bakalan Krajan kota Malang

Dalam penelusuran Sejarah, Wilayah Bakalan Krajan kota Malang memiliki sejarah yang sangat panjang. Pada Tahun 2013, pernah diadakan penelitian oleh Bapak Suwardono, Dosen Sejarah IKIP Budi Utomo Malang yang meneliti hasil temuan warga RW. 1 Bakalan Krajan saat menggali lahan untuk membuat kolam ikan.

Temuan tersebut berupa struktur candi Batur untuk pemujaan, dolmen (meja), Yoni, lumpang, umpak dan struktur batu. Bahkan empat buah batu candi diketemukan dihalaman Rumah Warga di RT.08 RW  I Bakalan Krajan. (Rabu, 17 April 2013)

Kawasan tersebut diperkirakan situs hunian dan pemujaan sejak jaman Majapahit. Sedangkan candi Batur atau struktur candi tanpa atap merupakan penanda desa kuno. Bahkan keberadaan lumpang dan dolmen merupakan peninggalan masa prasejarah. 

Sumantri (60), juru rawat arca asal Museum Mpu Purwa Malang, Kamis (18/4/2013) membersihkan batu lumpang hasil temuan warga kelurahan Bakalankrajan Sukun Kota Malang Jawa Timur. Selain lumpang juga ditemukan dolmen atau meja batu yang keduanya merupakan perlambang kesuburan sejak zaman prasejarah. (KOMPAS/DAHLIA IRAWATI)
Sumantri (60), juru rawat arca asal Museum Mpu Purwa Malang, Kamis (18/4/2013) membersihkan batu lumpang hasil temuan warga kelurahan Bakalankrajan Sukun Kota Malang Jawa Timur. Selain lumpang juga ditemukan dolmen atau meja batu yang keduanya merupakan perlambang kesuburan sejak zaman prasejarah. (KOMPAS/DAHLIA IRAWATI)
Berdasarkan prasasti Turyyan,  yang dibuat pada bulan Srawana tanggal 15 Suklapaksa tahun 851 saka, atau jika dikonversi dalam hitungan Masehi menjadi tanggal 24 Juli 929 Masehi, tersebut nama Wanua atau desa Gurung Gurung, yang pada saat ini berganti nama menjadi urung urung, yang merupakan satu kesatuan wilayah kelurahan bakalan Krajan sekarang. 

Sebagai desa kuno yang keberadaannya lebih dari seribu tahun, Bakalan Krajan tentu telah dihuni oleh lingkup masyarakat yang membutuhkan konsumsi makan. Penemuan lumpang batu, menandakan sejak masa pra sejarah masyarakat sekitar sudah bertanam padi. Nama pulau Jawa Dwipa, dimana daerah ini berada, artinya juga pulau padi. 

Hal ini sangat menarik, karena jika saat itu konsumsi makanan sudah berupa nasi, maka pertanyaannya apa lauknya? 1000 tahun lalu, sudah mengkonsumsi nasi, berarti ada lauknya.

Secara topografi, wilayah bakalan Krajan dialiri sungai metro dan kali akhir. Komuditinya, tentu ikan air tawar. Potensi air dan ikan inilah yang seribu tahun kemudian terhitung dari prasasti Turyyan, menjadikan inovasi kampung tematik kelurahan Bakalan Krajan, bernama Kampung Nila Slilir.

Sejarah kuliner Ikan 

Dusun Slilir, merupakan bagian wilayah dari Bakalan Krajan sekarang. Pada masa Wanua Gurung Gurung sesuai yang disebutkan dalam prasasti Turyyan, pada masa pemerintahan Raja MPU Sindok, wilayah Slilir sekarang adalah satu kesatuan dengan Wanua Gurung Gurung. 

Perkembangan budidaya nila di slilir, merupakan upaya kreatif masyarakat untuk mencukupi kebutuhan pangan, meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus melestarikan budaya makan ikan sebagai lauk sejak seribu tahun yang lalu. Tentunya 1000 tahun yang lampau bukan ikan nila, karena ikan nila masuk ke Indonesia sekitar tahun 1969 baru dipelihara diperairan air tawar Indonesia.

Pemilihan ikan Nila sebagai komuditas unggulan tentunya merupakan inovasi, terutama dengan pemanfaatan kolam bioflok, sehingga tehnologi ini lebih hemat tempat dan biaya pembuatan kolam budidaya. Cara budidayanya pun berbeda, karena diera sekarang sudah mengunakan tehnologi terbaru.

Rekonstruksi sejarah makan ikan di pulau Jawa dapat ditemui dalam beberapa prasasti Keluaran seribu tahun yang lalu. Saat peresmian sebuah Sima, atau daerah bebas pajak pada masa tersebut, diadakan tasyakuran, salah satunya lauk ikan.

Ikan menjadi makanan favorit sejak dulu kala. Sebagaimana disebut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, kekayaan ikan di Kepulauan Nusantara membuat kagum para penjelajah asing. Marcopolo misalnya. Pelaut asal Italia itu sempat menginjakkan kaki di tanah Sumatra pada akhir abad ke-13. “Ikan di kawasan Asia Tenggara merupakan yang terbaik di dunia,” kata Marcopolo.

Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi ke Nusantara pada abad ke-15 M sempat menggerutu langka dan mahalnya beras, daging, maupun sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara. Namun, ikan murah dan melimpah di mana-mana.

Jauh sebelum kedatangan mereka, data dari masa kerajaan-kerajaan kuno sudah membuktikan banyaknya ragam ikan yang dikonsumsi masyarakat kuno. Arkeolog Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa menyebut orang-orang pada masa itu telah memanfaatkan ikan tawar dan laut untuk dikonsumsi.

Ikan tawar, seperti kepiting (hayuyu), udang sungai (hurang), sejenis ikan (wagalan, kawan-kawan, dlag). Ikan laut adalah kepiting laut (gtam), cumi (hnus), kerang-kerangan (iwan knas), sejenis ikan laut (kadiwas, layar-layar, prang, tangiri, rumahan, slar). Ada pula beberapa jenis ikan yang tidak diketahui habitatnya, yaitu bijanjan, bilunglung, harang, halahala, dan kandari. 

Sumber prasasti juga menyebutkan beberapa jenis ikan yang diawetkan dalam bentuk dendeng (deng) atau rasa asin (asin-asin) sebelum dikonsumsi. Kedua jenis itu, baik ikan segar maupun yang telah dikeringkan, menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar.

Data prasasti menggambarkan sajian dari ikan selalu ada dalam upacara penetapan sima. Keterangan itu ditemukan dalam Prasasti Taji (823 Saka/901 M), Panggumulan (824 Saka/902 M), Sangguran (850 Saka/928 M), Paradah (865 Saka/943 M), dan Rukam (829 Saka/907 M).

Pada prasasti-prasasti itu tertulis asin asin dain kakap (ikan asin kakap), kadiwas, bilunglung, hala hala, layar layar , dan kawan. Hewan air lainnya dijumpai dengan istilah hurang (udang).

Prasasti era ini jika diperhatikan angka tahunnya adalah pada masa Mataram Kuno. Prasasti Turyyan yang digunakan dasar keberadaan Bakalan Krajan, yang dahulu disebut  wanua Gurung gurung adalah masa Raja Mpu Sindok, yang notabene kelanjutan Mataram Kuno yang berpindah ke timur pulau Jawa setelah terjadi Mahapralaya di wilayah asal mataram Kuno.

Memperhatikan Ulasan tersebut diatas, Konsumsi Ikan di Bumi Nusantara sudah dijadikan lauk pendamping nasi, kurang lebih telah seribu tahun yang lalu. Pada masa tersebut, Kemungkinan komuditi ikan didapat dari perairan sungai.

Dalam konteks ini, Warga bakalan krajan seribu tahun lalu sudah mengkonsumsi ikan dengan menangkapnya di sungai yang banyak mengalir di wilayah tersebut. berikut dapat kita lihat keberadaan sungai sesuai peta topografi terbitan Belanda Tahun 1908.

Peta wilayah Slilir dan seputar Bakalan Krajan terbitan Leinen, Belanda Tahun 1908
Peta wilayah Slilir dan seputar Bakalan Krajan terbitan Leinen, Belanda Tahun 1908
Terjawab sudah Pertanyaan, sejak Kapan Warga Bakalan Krajan mulai mengkonsumsi Ikan, yaitu sejak 1000 tahun yang lalu dan ternyata, seribu tahun kemudian, Warga kelurahan ini, Khususnya di RW. III Dusun Slilir melestarikan Konsumsi dan budidaya ikan Nila, menjadi Prodok Unggulan masyarakat sekitar untuk bangkit ekonomi kreatifnya menuju daulat Ikan demi Kesejahteraan Masyarakat, melalui Pokdakan dan Pokdarwis Kampung Nila Slilir.

Buat Yang Warga Slilir, Bakalan Krajan Harus bangga dong, bahwa kampungmu bersejarah. Sudah ada Peradaban sejak seribu tahun yang lalu dan sudah mencukupi kebutuhan gizi keluarganya dengan Konsumsi Ikan. Keren Bukan?

Semoga Artikel ini menginspirasi

sumber diolah dari :

1. media.neliti.com tentang Heritabilitas Ikan Nila seleksi

2. nusadaily.com

3.  ngalam.co

4. umm.ac.id

5. travel.kompas.com

6. historia.id

Ditulis oleh : Eko Irawan, Pegiat Kampung Nila Slilir, Bakalan Krajan Kota Malang pada 10 Desember 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun