Malu aku, jika tak menulis. Karena sekarang mudah. Ada di genggamanmu sendiri. Jika dibilang sulit, iya. Karena passionmu tak disana.
Sepandai apapun dirimu, tapi tak menulis. Sia sia. Seratus tahun lagi telah hilang darmamu. Karena pesanmu tak sampai. Pada masa depan.
Sepandai apapun bicara, tapi tak ditulis. Hilanglah peranmu. Tak ada yang kenal siapa dirimu seribu tahun lagi.Â
Hanya tulisan yang abadi. Mahakarya citralekha. Tablet pesan dari suatu masa. Seribu tahun lalu, bisa dibaca. Dalam panil panil aksara peradaban.
Tak terbayang, menulis pada masa itu. Penuh tantangan. Tak semudah sekarang. Tapi kenapa jaman mudah tak menulisÂ
Menulis tak perlu menunggu jadi raja. Tak perlu menjadi sarjana. Menunggu kaya. Menunggu dan menunggu. Banyak alasan jawabnya. Tapi bisa menulis status di media sosialnya. Bisa mengkritik di wa.Â
Tapi jangan menulis mural tak penting. Mencoret di fasilitas umum. Merusak keindahan kota. Protes kreatif bukan pada tempatnya. Sampaikan pesanmu dengan santun. Semua ada aturannya. Agar kamu dihargai.Â
Kita tak bakal tahu masa lalu. Tanpa peran citralekha, sang penulis prasasti. Mereka berjasa. Memperkaya literasi. Agar kita tahu sejarah bangsa. Nenek moyang kita sendiri.
Untuk apa bangga pada negeri lain. Mereka bukan moyangmu. Belajarlah sejarah. Yang baik, dirawat. Yang buruk tinggalkanlah.Â
Jadilah citralekha milenial.Â
Malang, 6 Desember 2020 oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H