Perkembangan musik diatonis sebagai sarana pendidikan nasionalisme mengalir seiring munculnya generasi penerus setelah W.R. Supratman dan M. Syafei pendiri sekolah I.N.S. Kayutanam di Sumatera Barat, yaitu diantaranya munculnya para pemusik asal daerah Tapanuli dengan latar belakang pengetahuan musik gereja misionaris Jerman yang cukup handal.
Para pemusik terkenal itu ialah Cornel Simanjuntak (komposer), Amir pasaribu (komposer, kritikus), J.A. Dungga (krtikus), L. Manik (komposer), Binsar Sitompul (komposer) dan W. Lumban Tobing (Etnomusikolog). Di Jawa dikenal Ismail Marzuki (komposer), Kusbini (komposer), Bintang Sudibyo (komposer), R.A.J. Soedjasmin (komposer, pendidik).
Para pemusik ini tidak hanya beranggapan bahwa budaya musik nasional eksotisme tidak boleh dibangun diatas budaya musik jawa, tetapi harus mengikuti  pola musik diatonis secara umum lebih mudah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai kebinekaannya.Â
Usaha seperti ini sebenarnya sudah dirintis jauh sebelum itu oleh para pemuda di tahun 1920-an menjelang Sumpah Pemuda, mengenai peranan musik diatonis yang dapat mewakili berbagai suku di Indonesia.
Di antaranya dihimpun oleh organisasi kepemudaan yaitu paguyuban Pasundan, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Timorch Verbond, Kaum Betawi, Sekar Rukun, Islamieten Bond. Perkumpulan itu adalah cikal bakal perjuangan kedaerahan setelah tahun 1926 meningkat kearah persatuan pemuda semakin kuat.Â
W.R. Supratman sebagai seorang  pemuda patriotis sering mengikuti rapat-rapat tersebut yang dimulai dari gang Kenari sebelum Sumpah Pemuda dicetuskan, hingga ia berkewajiban mendorong semangat persatuan melalui lagunya.
Sejak itu tumbuh dan berkembangnya nasionalisme di Indonesia, tidak hanya semata-mata didasarkan pada persamaan-persamaan sikap primordialisme, akan tetapi sudah bersifat terbuka.Â
Diilhami oleh cita-cita kebangkitan nasional dari tahun 1908, pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda, yaitu satu Nusa, satu Bangsa, dan satu Bahasa. Bahasa Melayu yang diakui sebagai bahasa nasional, merupakan suatu kekalahan bagi bahasa Belanda, sebagai simbol ikrar, teks Sumpah Pemuda serta lagu kebangsaan Indonesia Raya memakai bahasa Indonesia serta sekali gus diakuinya musik diatonis.Â
Akhirnya disimpulkan guna menetralisir keanekaragaman para pemuda Indonesia  perana musik nasioanl tidak lagi berpihak kepada etnis Jawa atau lainnya, tetapi harus bersifat universal seperti dalam kedudukan musik diatonis.
Oleh karena itu sistem tangga nada selendro dan pelog yang mendasari lagu-lagu instrumen gamelan perlu dihindari.
B. Fungsi dan Jenis Lagu PerjuanganÂ