Mohon tunggu...
Eko Wahyudi Antoro
Eko Wahyudi Antoro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan statistik dan pendidikan

Konsultan, penulis dan pegiat lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perlunya Penanaman Jiwa Entrepreneur pada Generasi Muda

16 November 2021   10:35 Diperbarui: 16 November 2021   10:40 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki sejarah panjang di Asia Tenggara. Negara yang memiliki luas 8,3 Juta Km2 dengan jumlah pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sebanyak kurang lebih 17.504 dan dihuni oleh 273,5 nyata nya hingga kini masih terus berjuang untuk meningkatkan perekonomian bangsa dan rakyatnya. Sumber daya yang melimpah masih belum mampu di manfaatkan secara optimal oleh bangsa Indonesia, guna menopang perekonomian masyarakat.

Saat ini, Indonesia secara ekonomi jauh tertinggal dari negara sesama ASEAN seperti Singapura yang menempati peringkat ke-2 dalam daftar 10 negara terkaya di dunia 2021 versi majalah Global Finance dengan GDP-PPP US$ 97,057, kemudian juga Brunei Darusalam di peringkat ke-8 GDP-PPP US$ 62,371. Lalu, dimana posisi Indonesia saat ini?, ya...Posisi Indonesia saat ini berada pada urutan 101 dengan nilai GDP-PPP sebesar US$ 12,222. Melalui data tersebut, jelas tampak pekerjaan rumah yang cukup berat untuk mendongkrak perekonomian bangsa dan bersaing di Era Free Trade ini.

Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo "Saya tidak ingin mental Inferior, mental inlander, mental terjajah ini masih ada, masih bercokol di dalam mentalitas bangsa kita", seharusnya membakar semangat generasi muda penerus bangsa untuk terus berinovasi dan tidak takut mencoba untuk memulai sebuah usaha, menghasilkan karya, produk dan sejenisnya tanpa ragu dan minder akan kalah bersaing dengan karya-karya orang di luar. Sebab mental inlander yang erat dengan sifat inferioritas ini adalah gejala yang dipelihara secara sadar dan terpelihara secara tak sadar. Presiden mengajak seluruh elemen bangsa melihat dalam kerangka berpikir orientalisme agar bangkit dari perasaan rendah itu termasuk dalam bidang ekonomi.

Salah satu upaya yang dapat di lakukan untuk meningkatkan ekonomi bangsa adalah dengan memperbanyak investasi usaha atau dalam bidang entrepreneur. Upaya ini sudah dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 2017, melalui PT. Bursa Efek Indonesia telah meluncurkan IDX Incubator, sebagai ruang inkubasi bagi usaha rintisan (start-up) dan usaha kecil menengah (UKM) untuk berkembang. Di IDX Incubator, start-up dan UKM akan mendapatkan program pembinaan hingga akses ke permodalan. 

Selain itu, usaha rintisan dan UKM yang ikut program ini berkesempatan dipromosikan di kanal pemasaran, IDX Channel. Akan tetapi hal ini masih belum cukup untuk mengangkat jumlah entrepreneur di Indonesia, sebab hingga kini berdasarkan The Global Entrepreneurship Index Rank of All Countries, 2019 Indonesia baru menempati urutan ke-75 di bawah Singapura urutan ke-27, Malaysia ke-43, Brunei Darusalam ke-48, Thailand ke-54 dan Vietnam ke-73.

Sebuah hipotesa umum yang merebak atas faktor penyebab hal tersebut adalah pola pikir masyarakat yang lebih tertarik untuk mencari pekerjaan disbanding berwirausaha, rendahnya kapasitas SDM pelaku wirausaha dan regulasi yang belum mampu mengatasi persoalan sehingga menghambat perkembangan dunia wirausaha serta kendala dalam mengakses modal. 

Pola pikir masyarakat soal peliknya dunia wirausaha membuat sebagian masyarakat enggan untuk meletakan nasib mereka dalam dunia wirausaha, mereka lebih berfikir untuk mencari pekerjaan setelah mengenyam pendidikan panjang ketimbang menciptakan lapangan pekerjaan. Belum lagi stereotype yang berkembang dikalangan masyarakat yang meng "agung--agungkan" profesi tertentu sebagai penghasil pundi--pundi kekayaan dan tolak ukur kesuksesan.

Faktor lain yang diduga menjadi kendala sulitnya entrepreneur berkembang adalah sistem pendidikan Indonesia yang tidak mengajarkan wirausaha sejak dini. Sistem pendidikan Indonesia cenderung mencetak lulusan bermental pegawai daripada mental wirausahawan. Agar dapat mencetak wirausahawan, elemen penting dalam pendidikan ini adalah pendidikan kewirausahaan. Idealnya, konsep kewirausahaan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum dari Sekolah Dasar (SD) sampai pasca Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni di Pendidikan Tinggi. 

Jika melihat data BPS terkini dijelaskan bahwa tingkat pengangguran terdidik akibat pandemi, untuk lulusan Perguruan Tinggi tingkat diploma meningkat sebesar 8,5%, sarjana akan meningkat tajam sebesar 25%. Artinya angka kenaikan ini seharusnya menjadi bahan evaluasi dan menyusun strategi untuk mengembangkan softskill lulusan yang sesuai dengan kebutuhan user. Pilihannya Lulusan siap kerja atau wirausaha, ini yang menjadi masalah klasikal hampir di setiap Perguruan Tinggi

Kenaikan besaran angka pengangguran ini tentunya harus menjadi pekerjaan rumah bersama, terkhusus juga Perguruan Tinggi yang memberikan andil penyumbang pengangguran terbesar kedua setelah SMK. Masalah utama saat ini adalah terjadinya GAP antara skill lulusan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, masalah link and match masih menyisakan banyak masalah. Jika melihat lampiran Peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor 5 tahun 2019 tentang Instrumen Akreditasi Program Studi sebenarnya sudah mengakomodir bahwa jenis pekerjaan lulusan harus sesuai dengan profil lulusan yang didapatkan dari penelusuran tracer study.

Hal ini semakin mempertegas bahwa peran perguruan tinggi selain sebagai wadah untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan unggul dalam pengembangan masyarakat, namun secara konkrit juga diharapkan tidak hanya meluluskan generasi pencari kerja saja namun harus bisa menghasilkan lulusan yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan atau wirausaha.

 Artinya solusi nyatanya adalah, menjadi antitesis jika outcomes Perguruan Tinggi itu harus bisa mencetak pencipta lapangan pekerjaan bukan saja hanya pencari pekerjaan. Jika merujuk pada BAN-PT menyiratkan makna bahwa pemerintah memberikan tanggung jawab kepada Perguruan Tinggi untuk mencetak para lulusan menjadi entrepreneur, dikarenakan realita jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia sangat tidak seimbang dengan jumlah lulusan tiap tahunnya.

*Inspirasi tulisan ini diperoleh dari diskusi bersama Bapak Agus Andi Subroto, Dosen STIE Yadika, Kandidat Doktor Univeristas Brawijaya sekaligus pelaku Entrepreneur yang ada di Surabaya dan banyak lagi peran beliau yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu*


 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun