Mereka mengevaluasi pengaruh lokasi dan durasi puasa sebelum sapi disembelih terhadap sifat fisiologis, mutu karkas, dan mutu daging sapi. Ada 2 perlakuan durasi puasa sebelum penyembelihan yang diujicobakan, yakni durasi puasa panjang (23--29 jam) dan durasi puasa pendek (2--6 jam).
Selain itu juga ada 2 perlakuan lokasi dimana sapi dipuasakan sebelum penyembelihan, yakni di farm atau peternakan dan di kandang penampungan rumah potong hewan (RPH). Semua sapi hanya dipuasakan makan dan tetap diberi air minum secara ad libitum atau tersedia terus sampai sapi disembelih, kecuali selama pengangkutan. Ada tujuh belas kombinasi perlakuan dalam rancangan penelitian berupa rancangan acak kelompok lengkap.
Clariget et al. (2021) menyimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh lokasi dimana sapi dipuasakan sebelum penyembelihan terhadap variabel fisiologi, mutu karkas dan mutu daging. Sapi dengan durasi puasa pendek mempunyai bobot karkas dan jumlah konsumsi air yang lebih tinggi dibandingkan sapi dengan durasi puasa panjang.
Hematokrit, globulin, protein total, dan enzim laktat dehidrogenase pada saat penyembelihan meningkat seiring dengan lamanya puasa. Tidak terdapat pengaruh durasi puasa terhadap ion darah, mutu daging, pH urin, berat dan volume hati, serta bahan kering kulit.
Pengurangan durasi puasa sebelum penyembelihan memberikan keuntungan bagi pemilik sapi berupa penambahan berat karkas sapi sebesar 1,2% (sekitar 3,11--3,68 kg). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan hewan berdasarkan tingkat hidrasi yang lebih baik pada saat penyembelihan.
Hasil penelitian Clariget et al. (2021) menunjukkan efek nyata dari durasi puasa pada berat karkas hangat, berat karkas dingin, dan berat potongan pistola yang sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada sapi jantan dewasa (bull) (Schaefer et al., 1990), sapi jantan muda (steers) (Jones et al., 1990; Gallo dan Gatica 1995) dan anak sapi (Fernandez et al., 1996).
Stres sebelum penyembelihan sering kali menimbulkan perubahan perilaku, biokimia, dan fisik (Nijisane dan Muchenje, 2017) dan berkontribusi terhadap penurunan bobot karkas (Jones et al., 1990; Warris 1990).
Penurunan berat badan, terutama karena proses katabolik, merupakan salah satu dampak paling jelas dari kekurangan pakan dan air (Hogan et al.. 2007; Ferguson dan Warner, 2008). Ketika diaktifkan oleh pemicu stres, seperti perlakuan pra-penyembelihan, sumbu HPA merespons dengan pelepasan glukokortikoid dan hormon lainnya, menginduksi katabolisme protein untuk melepaskan asam amino, yang berfungsi sebagai prekursor glukoneogenesis (Parker et al. 2003a; Hogan et al., 2007).
Namun, kerugian ini akan berkurang ketika hewan memiliki akses terhadap air saat masa kekurangan pakan (Hogan et al. 2007). Juga, Wythes et al. (1980) mengamati bahwa sapi jantan muda yang memiliki akses terhadap pakan dan air memperoleh pemulihan bobot lebih banyak dibandingkan sapi yang hanya diberi air. Mereka meneliti dan mengevaluasi sapi dengan perlakuan puasa sebelum penyembelihan selama 12 hingga 72 jam (tanpa air dan tanpa pakan) diikuti dengan durasi pemulihan 48 jam.
Proporsi komponen tubuh berubah seiring bertambah lamanya durasi puasa (Gallo dan Gatica, 1995), yang dapat disebabkan semata-mata karena hilangnya kadar air atau hilangnya kadar air ditambah dengan katabolisme/anabolisme dalam jaringan (Jones et al. 1990; Warris, 1990).
Hewan yang berada dalam situasi stres menunjukkan peningkatan degradasi protein, menyebabkan proses anabolik (penyerapan pakan) atau katabolik (stres karena pengangkutan dan penampungan) dengan hilangnya protein dalam jaringan (Di Marco et al., 2007). Katabolisme, atau anabolisme rendah, mempunyai pengaruh penting karena asupan nutrisi mempunyai dampak besar pada laju pergantian atau turnover protein (Reeds dan Fuller, 1983).