Terbatasnya pengetahuan ini sebenarnya membuat masyarakat permisif terhadap harga dan jenis obat, pun demikian semua keputusan dokter dan apoteker. Rasa-rasanya jarang masyarakat bertanya ini obat apa, dok? Kandungannya apa? Indikasinya apa? atau pertanyaan kepo lainnya.
Menariknya layanan kesehatan itu memiliki rantai yang panjang. Ambil contoh soal obat misalnya, di belakangnya ada industri obat-obatan. Namanya industri tentu ada mata rantai  proses pengumpulan bahan baku, pengolahan menjadi barang jadi, distribusi sampai masuk ke apotik-apotik lalu dikonsumsi masyarakat.
Obat-obat yang diedarkan di masyarakat pada dasarnya berbahaya! Namun setelah dikelola sedemikan rupa dengan berbagai perlakuan menjadi bermanfaat. Ada yang bisa membunuh virus dan bakteri, mengurangi rasa sakit dan sebagainya.
Soal obat ini, negeri sendiri menyadari "sisi berbahayanya" sehingga dibentuk otoritas yang diberikan kewenangan dalam melindungi masyarakat. Ada yang urus sisi industrinya, sisi impor bahan bakunya, sisi kontrol kualitas obat, dan macam-macam yang lain.
Dalam teori administrasi paling dasar, mereka yang diberikan kewenangan dan dibiayai lewat pajak rakyat sudah semestinya melaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kasus sudah terjadi, korban jiwa sudah ada tapi siapa yang bertanggung jawab?
 Akuntabilitas menjadi penting! Saya teringat pesan Prof. Agus Dwiyanto bahwa pertanggungjawaban itu, bukan soal salah atau benar. Melainkan untuk membuka "keterbatasan rasional" kita, dengan begitu kita bisa menambal lubang-lubang yang masih menganga dalam kebijakan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H