Kampungku adalah sebuah desa kecil. Sekitar 30 Km dari Kota Balige, ibukota Kabupaten Toba. Penduduknya juga cukup kecil jika pembandingnya desa-desa di Pulau Jawa.Â
Islam adalah agama minoritas tidak lebih dari 5% dari total jumlah penduduknya. Sisanya pemeluk Kristen Protestan, Katolik dan Parmalim.
Di kampungku sendiri jumlah pemeluk Islam sekitar 10-20 KK. Lebih banyak sedikit dari pemeluk Katolik. Sisanya paling banyak gereja etnis HKBP, HKI, dan Bethel.
Jadi, beranjak dari kondisi ini bisa dipastikan pemahaman antar satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain tidak terlalu baik. Namun, kami diselamatkan oleh sikap toleransi yang baik.Â
Sehingga bisa saling mengerti terhadap kekurangan masing-masing. Jadi yang tadinya mungkin kalau diseriusi jadi tersinggung malah jadi ketawa karena dibawa santai.
Ketika memasuki Bulan Ramadhan. Orang-orang di kampung tentu sudah tahu bahwa keluarga si A berpuasa jadi tidak boleh ditawari makan atau minum. Tidak boleh makan atau minum di depannya. Namun tidak terbatas soal makan dan minum saja. Ada saja hal-hal unik yang hanya ditemukan saat Bulan Ramadhan. Hal yang tentu dirindukan.
Pakde saya misalnya, ketika Bulan Ramadhan, orang-orang sekampung pasti tahun dia berpuasa. Nah, dalam pemikiran mereka orang berpuasa itu doanya mustajab.Â
Jadi, ketika Bulan Ramadhan masuk di musim panas, mereka minta didoakan supaya hujan. Atau ketika Bulan Ramadhan masuk di musim hujam, mereka minta didoakan supaya panas. Pakde hanya menjawabnya dengan tersenyum.
Lain lagi ketika aku masih kecil. Di sekolahku (SD) penganut agama Islam tidak lebih dari 10 orang. Namun, ketika masuk Bulan Ramadhan, anak-anak mencoba faham kondisi temannya. Jadi ada saja kegiatan yang harus ditunda karena takut membatalkan puasa teman.
Aku masih ingat betul selama Bulan Ramdhan harus berhenti main gobak sodor. Takutnya ada teman yang terpeleset terus terluka. Batal deh puasanya. Sekarang saya tahu bahwa terluka itu tidak membatalkan puasa. Kami saja yang dulu sok tahu, luka dan berdarah itu membatalkan puasa.
Lain lagi saat pelajaran Olahraga, kami akan mengurangi kegiatan fisik yang menguras tenaga dan membuat haus. Takutnya itu bisa membuat teman yang sedang berpuasa batal puasanya.Â
Anak-anak yang lain yang tidak berpuasa malah ikut-ikutan. Anehnya, gara-gara satu orang saja bisa bubar sepak bola, kasti atau bola voli. Padahal bisa aja yang berpuasa tidak ikut pelajaran olahraga yang berat.
Namun, kadang ada juga kejadian lucu. Ketika masih SD ada saja teman yang puasanya bolong-bolong. Nah, ada semacam 'doktrin' di kepala teman-teman bahwa kalau Bulan Ramadhan yang Islam pasti puasa tanpa pandang bulu setiap hari.
Nah, ketika dia ingin ikut bermain bola pasti akan ditolak dengan alasan PUASA. Mau dia bilang tidak puasa kek, mau dia minum di depan kita kek. Tetap tidak bisa ikut.
Jadi, rasanya rugi kalau tidak puasa karena memang sudah dikeluarkan dari permainan 'keras'. Kayak disuruh khusyuk beribadah saja dulu, itu yang utama. Kondisi ini akan normal sesudah lebaran, Aku memandangnya dianak emaskan dulu.
Ada lagi kejadian lucu seorang teman harus jaga di pintu, takutnya ada teman yang sedang puasa masuk. Sedangkan yang lain makan di dalam kelas. Suatu ketika teman saya masuk secara terburu-buru. Semua tanpa aba-aba langsung mengatubkan mulut. Diam.
Bagi saya hal itu cukup unik. Ketika sekelompok mayoritas berusaha menjaga temannya yang minoritas yang sedang berpuasa. Terkadang bagi saya itu lucu karena puasa itu urusan pribadi seorang muslim terhadap Tuhannya.
Faktanya memang ada beberapa hal yang rasanya menjadi berlebihan. Tapi, itu tidak lain hanya karena kurangnya pemahaman terhadap agama lain. Tidak ada yang salah. Kita tidak perlu sampai tataran paham terhadap agama lain. Cukup menghormati saja dengan tidak mengganggu.
Biasanya setelah melewati bulan puasa telah menjadi tradisi di tempat kami untuk mengunjungi rumah warga yang beragama Islam. Masyarakat akan berbondong-bondong silih berganti bersilaturahmi sebagai saudara se-kampung.Â
Tuan rumah akan menyediakan kue-kue kering dan minuman tentu harus banyak karena akan menjamu teman sekampung. Kejadian serupa nanti bakal dilakukan juga pada saat Tahun baru. Giliran yang Kristen yang jadi tuan rumah.
Saat bersilaturahmi tidak ada hal-hal berat yang dibahas. Paling bicara soal Cabai Merah yang mulai tumbuh subur. Keluh-kesah tentang bantuan bibit atau alat pertanian dari pemerintah yang belum kunjung turun. Tidak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari.
Aku memandangnya begitulah Indonesia. Soal agama memang kalau bisa kita saling mengemaskan. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H