Hidup dan dibesarkan dalam lingkungan yang percaya pada hal-hal klenik dan mistik membuatku sering merasa “ngeri-ngeri sedap” ketika mendengar cerita atau melihat kejadian yang terkait dengan dunia gaib itu. Sudah tidak terhitung cerita mistis yang membuatku takut keluar rumah di malam hari. Mulai dari cerita penunggu sumur umum yang sering menyapa warga yang kepagian sampai penunggu pohon bambu yang sering minta api pada anak muda yang kemalaman pulang nongkrong.
Alkisah, ketika aku duduk di kelas 3 Sekolah dasar akan ada pesta besar. Tepatnya bulan Juni di 20 tahun lalu akan digelar upacara menaikkan belulang nenek moyang kami ke kubur batu. Satu wujud penghormatan kepada nenek moyang. Permasalahannya tidak ada yang tahu persis dimana letak kubur itu. Soalnya sudah 3-4 generasi nenek moyang kami itu dikuburkan. Satu-satunya informasi yang kami tahu bahwa letak kuburan itu ada di pekuburan umum. Tetapi pekuburan itu, sudah penuh sesak dengan kubur-kubur baru.
Satu-satu cara adalah memanggil “orang pintar” untuk mencari tahu dimana persisnya lokasi kubur itu. Tidak sembarangan untuk memanggil orang pintar. Ada ritual untuk memanggilnya. Aneh-aneh pula, kali ini syaratnya harus membawa kumis harimau. Meski tidak masuk akal tetap saja dicari sampai ketemu. Aku lupa darimana kumis harimau didapat pada waktu itu.
Siang itu, ketika matahari tepat berada di ubun-ubun, aku baru pulang dari sekolah. Rumah sepi, tidak seperti biasanya. Aku segera menuju lemari makan. Ketika aku masih SD, untuk menjangkau bagian lemari paling atas harus jinjit. Segera aku jinjit, aku intip isinya. Wow, ayam bakar utuh! Lengkap dengan bumbu napinadar (khas Batak)! Belum lagi ada 3 butir telur ayam matang. Lengkap dengan nasih putih yang masih hangat. Segera aku coba ambil. Pletak! Bunyi ayam dan sebutir telur terjatuh.
Aku dengan tergesa-gesa membereskan. Setelah itu, aku tatap hidangan itu. Entah datang darimana, tiba-tiba muncul niat jahatku. Aku ambil secuil daging ayamnya. Aku cicipi ternyata enak. Lalu, tanpa ba-be-bu dan tanpa disangka-sangka sudah terlahapku seperlima daging ayamnya dan sebutir telur. Ah, paling hidangan buat makan siang pikirku.
Sementara itu, di pekuburan umum sedang dilakukan ritual pencarian kubur. Ritual mistis dilakukan. Dukun tampak komat-kamit memaca mantera. Persis di depannya diletaknya arang dan daun sirih. 5 menit kemudian, badannya terguncang hebat. Semua teperanjat dan tampak cemas. Aku yang baru saja sampai mematung memandang. Lalu, mata si dukun itu tampak melotot menyapu sekeliling. Kami masih takjim mengamati. Alam sepertinya ikut-ikutan mendukung ritual itu karena angin benar-benar tidak berembus.
“Grrrrr”, geram dukun itu
Lalu, tangan dukun itu dengan cepat bergerak mengambil arang. Dukun itu melukis dengan cepat di atas tampi. Hasilnya menakjubkan gambar manusia berambut panjang. Dukun itu bangkit berdiri dan berjalan ke arah kerumunan.
“Inikah yang kalian cari”, tanyanya
Semua mengangguk setuju. Jujur saja, aku tidak yakin gambar itu menggambar ciri seseorang selain bulatan yang dikasih mata, hidung, mulut, telinga, dan rambut. Kayak gambar yang aku buat pas pelajaran menggambar.
Lalu, tiba-tiba, ada seorang pemuda yang jatuh pingsan. Aku kurang tahu persis siapa dia. Badannya kaku. Semua panik. Ada yang teriak ambil air. Ada yang teriak angkat. Ada yang teriak siapa yang datang (merasuki). Kacau! Tetapi tidak ada yang berani mendekat. Pemuda itu lalu berguling-guling di atas tanah, tersadar dari semaputnya. Semua terheran-heran melihat. Dukun itu segera menenangkan pemuda itu, memegang kepalanya. Tapi, pemuda itu melawan. Lelaki dewasa yang sedari tadi hanya diam mengamati segera turun tangan membantu.
Pemuda itu terpojok. Ada yang memegang kakinya. Ada yang memegang tangannya. Sekarang dia persis seperti babi yang akan disembelih oleh dukun yang memegang kepalanya. Dukun itu membaca mantra lagi. Pemuda itu tampak tenang. Namun matanya merah dan tatapannya kosong. Ibu-ibu dan anak-anak disuruh menjauh.
“Siapakah engkau yang datang ini?” tanya dukun itu
“Aku nenek moyang kalian, kenapa kalian begitu lama menelantarku?” tanya pemuda itu
Seketika orang-orang yang histeris. Bahkan ada yang menangis merasa bersalah.
“Maafkan kami, oppung!”
“Bermurah hatilah pada kami!”
Suasana menjadi tegang. Namun, sebelum sempat bertanya dimana kuburan nenek moyang kami ini. Pemuda itu lantas pingsan. Namun dukun yang kami undang bukanlah sembarang dukun.
“Tidak usah risau” katanya penuh wibawa
Dukun mengambil sirih membaca mantra. Sirih itu dilempar ke udara. Angin sepoi-sepoi yang datang karena hari makin sore menerbangkan sirih itu persis di bawah pohon pinus. Dukun itu melempar lagi sirih yang lain, lagi dan lagi. Angin tetap menerbangkannya ke bawah pohon pinus itu. Lalu, dukun itu memerintahkan supaya pohon pinus itu ditebang dan tanah di sana digali. Susah payah orang-orang dewasa menebang pohon pinus itu. Susah payah pula menggali tanah. Hasilnya nihil! Tidak ada belulang.
Dukun itu turun ke bawah dan membaca mantra lagi. Lalu mengambil sejumput tanah.
“Inilah dia!” serunya dan memasukkan ke dalam kain
Orang-orang yang datang percaya begitu saja. Histeris menyambut kain berisi tanah dari sang dukun. Lalu, digilir. Satu persatu dapat bagian memeluk. Air mata menetes. Keharuan mengakhiri pencarian kubur hari ini. Bungkusan kain berisi tanah itu kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dibawa pulang ke rumah. Semua lega.
Tibalah saat menjamu sang dukun itu dan temannya pemuda yang kesurupan itu. Betapa terkejutnya aku ketika ternyata sajian yang dilemari itu adalah untuk sang dukun. Ayam dan telor tadi sudah tercecer di lantai. Sedikit sudah aku santap pula.
“Sudah didengarkan moyang kita permintaan kalian,” katanya sambil memegang sajian itu.
“Dia sudah mengambil bagiannya dari sajian ini”, lanjutnya
“Terima kasihnya untuk kalian keturunannya”, tutupnya
Lalu, dukun itu makan dengan lahapnya. Sementara aku ketakutan. Orang-orang yang berjubel mengelilingi dukun itu tampak saling berbisik.
“Benar, tadi telurnya ada 3 sesuai permintaan dukun, ayamya juga tampak lebih kecil dan nasinya lebih sedikit” kata ibu berbisik-bisik kepada orang disebalahnya.
Aku tidak pernah mengatakan yang sebenarnya bahwa akulah yang makan sajian itu. Namun, beberapa tahun kemudian persis di atas sang dukun duduk melakukan ritual dulu penggali kubur menemukan tulang-belulang manusia ketika sedang menggali kubur baru. Ciri-cirinya menunjukkan bahwa itu adalah belulang moyang kami karena ada gigi emas ditengkoraknya. Menurut cerita hanya dia yang punya gigi palsu emas di kampung kami di zamannya. Orang-orang lalu saling menyalahkan karena sudah menagisi seonggok tanah. Ada pula yang mempertanyakan kredibiltas dukun itu. Sementara aku hanya bisa membayangkan betapa enak paha ayam yang aku lahap saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H