Pemuda itu terpojok. Ada yang memegang kakinya. Ada yang memegang tangannya. Sekarang dia persis seperti babi yang akan disembelih oleh dukun yang memegang kepalanya. Dukun itu membaca mantra lagi. Pemuda itu tampak tenang. Namun matanya merah dan tatapannya kosong. Ibu-ibu dan anak-anak disuruh menjauh.
“Siapakah engkau yang datang ini?” tanya dukun itu
“Aku nenek moyang kalian, kenapa kalian begitu lama menelantarku?” tanya pemuda itu
Seketika orang-orang yang histeris. Bahkan ada yang menangis merasa bersalah.
“Maafkan kami, oppung!”
“Bermurah hatilah pada kami!”
Suasana menjadi tegang. Namun, sebelum sempat bertanya dimana kuburan nenek moyang kami ini. Pemuda itu lantas pingsan. Namun dukun yang kami undang bukanlah sembarang dukun.
“Tidak usah risau” katanya penuh wibawa
Dukun mengambil sirih membaca mantra. Sirih itu dilempar ke udara. Angin sepoi-sepoi yang datang karena hari makin sore menerbangkan sirih itu persis di bawah pohon pinus. Dukun itu melempar lagi sirih yang lain, lagi dan lagi. Angin tetap menerbangkannya ke bawah pohon pinus itu. Lalu, dukun itu memerintahkan supaya pohon pinus itu ditebang dan tanah di sana digali. Susah payah orang-orang dewasa menebang pohon pinus itu. Susah payah pula menggali tanah. Hasilnya nihil! Tidak ada belulang.
Dukun itu turun ke bawah dan membaca mantra lagi. Lalu mengambil sejumput tanah.
“Inilah dia!” serunya dan memasukkan ke dalam kain