Orang-orang yang datang percaya begitu saja. Histeris menyambut kain berisi tanah dari sang dukun. Lalu, digilir. Satu persatu dapat bagian memeluk. Air mata menetes. Keharuan mengakhiri pencarian kubur hari ini. Bungkusan kain berisi tanah itu kemudian dimasukkan ke dalam peti dan dibawa pulang ke rumah. Semua lega.
Tibalah saat menjamu sang dukun itu dan temannya pemuda yang kesurupan itu. Betapa terkejutnya aku ketika ternyata sajian yang dilemari itu adalah untuk sang dukun. Ayam dan telor tadi sudah tercecer di lantai. Sedikit sudah aku santap pula.
“Sudah didengarkan moyang kita permintaan kalian,” katanya sambil memegang sajian itu.
“Dia sudah mengambil bagiannya dari sajian ini”, lanjutnya
“Terima kasihnya untuk kalian keturunannya”, tutupnya
Lalu, dukun itu makan dengan lahapnya. Sementara aku ketakutan. Orang-orang yang berjubel mengelilingi dukun itu tampak saling berbisik.
“Benar, tadi telurnya ada 3 sesuai permintaan dukun, ayamya juga tampak lebih kecil dan nasinya lebih sedikit” kata ibu berbisik-bisik kepada orang disebalahnya.
Aku tidak pernah mengatakan yang sebenarnya bahwa akulah yang makan sajian itu. Namun, beberapa tahun kemudian persis di atas sang dukun duduk melakukan ritual dulu penggali kubur menemukan tulang-belulang manusia ketika sedang menggali kubur baru. Ciri-cirinya menunjukkan bahwa itu adalah belulang moyang kami karena ada gigi emas ditengkoraknya. Menurut cerita hanya dia yang punya gigi palsu emas di kampung kami di zamannya. Orang-orang lalu saling menyalahkan karena sudah menagisi seonggok tanah. Ada pula yang mempertanyakan kredibiltas dukun itu. Sementara aku hanya bisa membayangkan betapa enak paha ayam yang aku lahap saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H