Alkisah seorang manusia pertama bernama Adam merasa kesepian. Lalu, tergeraklah Sang Khalik dengan welas asihNya menciptakan Hawa dari tulang rusuk laki-laki itu. Perempuan yang kemudian menjadi penolong bagi laki-laki itu. Lantas kenapa perempuan tidak dicipta dari ‘kepala’ laki-laki? supaya dia tidak menginjak laki-laki itu! Kenapa pula tidak dari ‘kaki’ laki-laki? supaya dia tidak diinjak laki-laki itu! Rusuk, ya, rusuk. Titik tengah yang membuat laki-laki itu sejajar dengan perempuan. Lantas lahirlah bagi manusia itu anak. Manusia itu mendidik orang muda itu menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya ia tidak menyimpang dari jalan itu. Jalan yang patut!
Apakah ‘kita’ sudah ramah terhadap perempuan dan anak?
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan beraneka ragam kejadian yang tidak bisa diterima oleh akal sehat kita. Seorang pekerja pabrik diperkosa oleh 3 laki-laki yang salah satu pelakunya bahkan masih dibawah umur. Tidak cukup diperkosa korban bahkan dibunuh dengan cara sadis dengan memasukkan gagang cangkul ke kemaluan korban! Hampir di waktu bersamaan seorang anak perempuan yang diberitakan hilang ditemukan telah terkubur di kandang ayam rumahnya sendiri dan sadisnya pelakunya orang tua angkat sendiri! Dua kejadian itu sempat menjadi trending topic karena diangkat media-media mainstream. Namun faktanya di lapangan ada banyak kejadian di masyarakat yang tidak diangkat secara massif oleh media.
KPAI mencatat pada tahun 2015 telah terjadi 1.698 kekerasan terhadap anak, mirisnya lagi 53 % adalah kasus kekerasan seksual. Selebihnya yakni 40,7 % adalah penelantaraan,penganiayaan, eksploitasi untuk seksual dan bentuk kekerasan lainnya. Sementara itu, Komisi Nasional Perempuan mencatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Temanya pun meluas, yakni pekerja seks online, mucikari, selebriti pekerja seks, cyber crime, biro jodoh yang dinilai berkedok syariah, dan penyedia layanan perkawinan siri. Sementara di ranah negara, aparat negara masih menjadi pelaku langsung atau melakukan pembiaran pada saat peristiwa pelangaran HAM terjadi.
Dalam konteks kekinian, sikap-sikap yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan terhadap perempuan dan anak jelas semakin massif. Hal ini sangat ironis di tengah semakin banyaknya lembaga yang concern terhadap anak dan perempuan seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perlindungan Perempuan dan Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal ini menjadi perlu secara jujur untuk dijawab kenapa semakin hari laki-laki semakin tidak menghargai perempuan? Kenapa semakin hari semakin banyak muncul predator-predator anak? Apakah ‘kita sendiri’ turut menciptakan kekerasan di rumah kita sendiri, di sekolah kita sendiri, di kantor kita sendiri?
Rembuk bareng berupa Diskusi Publik Bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dengan tema “Bersama Mengakhiri Kekerasan Perempuan dan Anak” mencoba mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut sekaligus mendorong Program Three Ends gagasan Kemeterian PP dan PA yang mengajak seluruh unsur, baik dari keluarga, pemerintah, akademisi, praktisi, dan bahkan media termasuk blogger untuk tidak melakukan pembiaran atau bahkan ikut melakukan kekerasan secara terselubung. Tiga srikandi yang hadir menjadi narasumber pada acara tersebut yakni Agustina Erni (Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA), Dr. Sri Astuti (Dosen UHAMKA yang juga pendamping perempuan & anak di Rusun Marunda) dan Vitria Lazarini ( Psikolog Yayasan Pulih).
Agustina Erni selaku representasi pemerintah (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/KPPPA) menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa sendirian dalam menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jangkauan pemerintah sangat terbatas mengingat kompleksitas wilayah Indonesia dan jumlah penduduk yang mencapai 252 juta jiwa dengan komposisi penduduk sekitar 49,75% adalah perempuan. 1/3 dari jumlah penduduk tersebut adalah anak dibawah 18 tahun yang menjadi garapan kementerian pimpinan Yohana Yambise tersebut.
Oleh karena itu, kemitraan yang sinergis dengan masyarakat perlu dibangun. Peran masyarakat pun menjadi sangat strategis dalam upaya melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan dan anak pada dasarnya terjadi di dalam keluarga dan masyarakat. Maka masyarakatlah subjek yang lebih dekat, cepat dan mudah aksesnya dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Prinsip sinergitas antar elemen masyarakat menjadi sangat penting, terutama dalam shared informasi dan pengetahuan serta tidak saling melempar tanggung jawab dalam menyelesaikan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Agustina Erni juga memberikan gagasan bahwa penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu didekati dengan konsep mitigasi sosial. Mitigasi sosial yang dimaksud adalah ‘menyelamatkan masyarakat’. Ilustrasinya, dalam sebuah masyarakat ada individu/kelompok yang berperilaku positif/baik maka kelompok tersebut akan di-support dan dijadikan contoh. Lantas, akan mampu memengaruhi individu/kelompok masyarakat yang berperilaku negatif/buruk ke arah yang lebih baik. Tugas kita adalah mempertahankan yang baik untuk tidak menjadi negatif!
Sri Astusi dalam rembuk bersama ini adalah representai akademisi sekaligus praktisi civil society yang berkecimpung di dunia penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pengalamannya sebagai pendamping perempuan dan anak di Rusun Marunda menunjukkan bahwa terdapat kompleksitas permasalahan di wilayah binaannya. Padatnya penghuni rusun berdampak pada lingkungan yang kurang aman dan nyaman pada penghuni sendiri. Faktanya terapat masalah-masalah sosial seperti kekerasan seksual pada anak, perilaku yang anak tidak wajar (misalnya; sudah biasa dengan orang berhubungan seksual dan anak-anak sepermainan dengan orang dewasa) dan maraknya penelantaran anak.
Dalam hal terjadi kekerasan terhadap perempua dan anak. Menurut Dosen UHAMKA ini, prosesnya terlalu panjang dan kurang pendampingan bagi korban sehingga permasalahannya tidak terselesaikan. Seringkali korban memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadap pelaku karena membutuhkan biaya dan waktu. Padahal pada saat yang bersamaan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang seringkali menjadi tidak bekerja karena mengikuti proses hukum. Dilema lainnya adalah pada negatif masyarakat sekitar terutama terhadap kekerasan seksual dan KDRT. Ada kecenderungan untuk mendiamkan karena menganggap hal tersebut sebagai aib keluarga.
Sri Astusi sependapat dengan Agustina Erni bahwa menyelamatkan kelompok yang berperilaku positif untuk tidak jatuh menjadi negatif dan mendorong mereka yang berperilaku positif untuk menjadi agen-agen perubahan yang mengaruhi mereka yang berperilaku negatif untuk menjadi lebih baik. Disamping itu, sinergitas semua pihak dalam masyarakat seperti RT/RW, UPRS, karang taruna, jumantik, ibu-ibu pengajian dan lainnya sangat diperlukan untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Vitria Lazarini, seorang psikolog dari Yayasan Pulih, memberi padangan psikologis terhadap kekerasan perempuan dan anak. Menurutnya, semua orang pada hakikatnya memiliki probabilitas untuk menjadi pelaku atau pun korban kekerasan. Kekerasan itu pun bisa datang darimana saja, termasuk rumah kita sendiri dan oleh orang paling dekat sekalipun. Faktanya memang demikian.
Dalam kontek penanganan korban kekerasan. Selama ini, penanganan korban kekerasan kurang efektif. Korban kekerasan seringkali terpisahkan dari keluarganya yang sebenarnya menjadi pihak yang paling dekat dengan korban. Alasan klasiknya adalah untuk melindungi korban sehingga hanya korban yang ditangani tanpa melibatkan keluarganya. Disamping itu, penanganan korban terarah pada dampak yang langsung dan jangka pendek. Misalnya memindahkan korban kekerasan seksual ke tempat lain supaya tidak merasa malu. Padahal permasalahan korban kekerasan selalu bersifat jangka panjang. Korban kekerasan harus ‘diobati’ seluruh aspek kehidupannya meliputi fisik, non fisik dan hubungan sosialnya.
Korban seringkali sudah jatuh tertimpa tangga pula sebagai akibat dari kurang pahamnya masyarakat psikologi korban. Masyarakat sering kali merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang dibutuhkan oleh korban. Akibatnya kita sering abai terhadap korban sebagai subjek yang lebih memahami dirinya sendiri. Alih-alih memberikan yang terbaik/menyelamatkan bagi korban yang terjadi justru kekerasan tambahan yang menambah derita si korban.
Three Ends, yakni End Violence Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak), End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia), dan End Barriers To Economic Justice (Akhiri Kesenjangan Ekonomi terhadap perempuan) adalah program unggulan Kementerian PP dan PA. Kata lainnya, Three Endsadalah cara Kementerian PP dan PA untuk menghajar pada predator yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik predator fisik maupun psikis, baik predator ekonomi maupun seksual!
Caranya semua harus memilih untuk terlibat. Hal itu dimulai dari individu, rumah tangga, antar tetangga, masyarakat dan tentu saja negara. Kita (semua) harus menjadi tetangga-tetangga yang peduli yang turut serta melindungi perempuan dan anak dari predator. Maka perempuan dan anak akan semakin jauh dari jangkauan para predator.
Kita juga harus menyadari bahwa peran negara sangat terbatas dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, menjadi keharusan untuk menciptakan agen-agen perubahan yang berkelanjutan. Baik melalui komunitas-komunitas maupu individu-individu yang akan turut serta dalam mengedukasi masyarakat melawan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Pendidikan juga akan turut mengubah streotipe masyarakat yang cenderung memojokkan korban dan keluarganya menjadi peduli dan membela korban.
Peran laki-laki dalam perlindungan perempuan juga sangat penting. Perempuan dan laki-laki adalah dua insan yang seharusnya saling melengkapi dan saling tolong-menolong. Mayoritas laki-laki terutama di lingkungan kita yang patriarki memang tumbuh lebih kuat secara fisik dan lebih diprioritaskan dalam berbagai akses seperti pendidikan dan ekonomi.
Sementara perempuan dikungkung dalam tugas ‘domestik’ sepeti mencuci dan memasak. Dalam hal ini, laki-laki (ayah) harus memberi ruang kepada anak perempuannya untuk bersekolah. Laki-laki (suami) pun harus memberikan kepada istri kesempatan untuk berkarier. Laki-laki (saudara laki-laki) juga akhirnya, perlu untuk memberikan kesempatan tumbuh-kembang bagi saudara perempuannya untuk mengaktualisasikan diri. Masyarakat pun akan berubah dengan tidak ‘memicingkan mata’ melihat perempuan melakukan pekerjaan yang dianggap ‘pekerjaan laki-laki’. Begitulah cara mengusir kekerasan dari dalam rumah kita!
Facebook: Bung Marbun
Twitter: Bung Marbun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H