Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari, Bersama-sama Melawan Predator!

6 Januari 2017   17:09 Diperbarui: 9 Januari 2017   08:36 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal terjadi kekerasan terhadap perempua dan anak. Menurut Dosen UHAMKA ini, prosesnya terlalu panjang dan kurang pendampingan bagi korban sehingga permasalahannya tidak terselesaikan. Seringkali korban memilih untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadap pelaku karena membutuhkan biaya dan waktu. Padahal pada saat yang bersamaan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang seringkali menjadi tidak bekerja karena mengikuti proses hukum. Dilema lainnya adalah pada negatif masyarakat sekitar terutama terhadap kekerasan seksual dan KDRT. Ada kecenderungan untuk mendiamkan karena menganggap hal tersebut sebagai aib keluarga.

Sri Astusi sependapat dengan Agustina Erni bahwa menyelamatkan kelompok yang berperilaku positif untuk tidak jatuh menjadi negatif dan mendorong mereka yang berperilaku positif untuk menjadi agen-agen perubahan yang mengaruhi mereka yang berperilaku negatif untuk menjadi lebih baik. Disamping itu, sinergitas semua pihak dalam masyarakat seperti RT/RW, UPRS, karang taruna, jumantik, ibu-ibu pengajian dan lainnya sangat diperlukan untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Vitria Lazarini, seorang psikolog dari Yayasan Pulih, memberi padangan psikologis terhadap kekerasan perempuan dan anak. Menurutnya, semua orang pada hakikatnya memiliki probabilitas untuk menjadi pelaku atau pun korban kekerasan. Kekerasan itu pun bisa datang darimana saja, termasuk rumah kita sendiri dan oleh orang paling dekat sekalipun. Faktanya memang demikian.

Dalam kontek penanganan korban kekerasan. Selama ini, penanganan korban kekerasan kurang efektif. Korban kekerasan seringkali terpisahkan dari keluarganya yang sebenarnya menjadi pihak yang paling dekat dengan korban. Alasan klasiknya adalah untuk melindungi korban sehingga hanya korban yang ditangani tanpa melibatkan keluarganya. Disamping itu, penanganan korban terarah pada dampak yang langsung dan jangka pendek. Misalnya memindahkan korban kekerasan seksual ke tempat lain supaya tidak merasa malu. Padahal permasalahan korban kekerasan selalu bersifat jangka panjang. Korban kekerasan harus ‘diobati’ seluruh aspek kehidupannya meliputi fisik, non fisik dan hubungan sosialnya.

Korban seringkali sudah jatuh tertimpa tangga pula sebagai akibat dari kurang pahamnya masyarakat psikologi korban. Masyarakat sering kali merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang dibutuhkan oleh korban. Akibatnya kita sering abai terhadap korban sebagai subjek yang lebih memahami dirinya sendiri. Alih-alih memberikan yang terbaik/menyelamatkan bagi korban yang terjadi justru kekerasan tambahan yang menambah derita si korban.

Three Ends, program andalah Kementerian PP dan PA dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Three Ends, program andalah Kementerian PP dan PA dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Mari, Bersama-sama Melawan Predator!

Three Ends, yakni End Violence Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak), End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia), dan End Barriers To Economic Justice (Akhiri Kesenjangan Ekonomi terhadap perempuan) adalah program unggulan Kementerian PP dan PA. Kata lainnya, Three Endsadalah cara Kementerian PP dan PA untuk menghajar pada predator yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik predator fisik maupun psikis, baik predator ekonomi maupun seksual!

Caranya semua harus memilih untuk terlibat. Hal itu dimulai dari individu, rumah tangga, antar tetangga, masyarakat dan tentu saja negara. Kita (semua) harus menjadi tetangga-tetangga yang peduli yang turut serta melindungi perempuan dan anak dari predator. Maka perempuan dan anak akan semakin jauh dari jangkauan para predator.

Kita juga harus menyadari bahwa peran negara sangat terbatas dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, menjadi keharusan untuk menciptakan agen-agen perubahan yang berkelanjutan. Baik melalui komunitas-komunitas maupu individu-individu yang akan turut serta dalam mengedukasi masyarakat melawan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Pendidikan juga akan turut mengubah streotipe masyarakat yang cenderung memojokkan korban dan keluarganya menjadi peduli dan membela korban.

Peran laki-laki dalam perlindungan perempuan juga sangat penting. Perempuan dan laki-laki adalah dua insan yang seharusnya saling melengkapi dan saling tolong-menolong. Mayoritas laki-laki terutama di lingkungan kita yang patriarki memang tumbuh lebih kuat secara fisik dan lebih diprioritaskan dalam berbagai akses seperti pendidikan dan ekonomi. 

Sementara perempuan dikungkung dalam tugas ‘domestik’ sepeti mencuci dan memasak. Dalam hal ini, laki-laki (ayah) harus memberi ruang kepada anak perempuannya untuk bersekolah. Laki-laki (suami) pun harus memberikan kepada istri kesempatan untuk berkarier. Laki-laki (saudara laki-laki) juga akhirnya, perlu untuk memberikan kesempatan tumbuh-kembang bagi saudara perempuannya untuk mengaktualisasikan diri. Masyarakat pun akan berubah dengan tidak ‘memicingkan mata’ melihat perempuan melakukan pekerjaan yang dianggap ‘pekerjaan laki-laki’. Begitulah cara mengusir kekerasan dari dalam rumah kita!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun