Mohon tunggu...
Eko N Thomas Marbun
Eko N Thomas Marbun Mohon Tunggu... Penulis - I Kerani di Medan Merdeka Utara I

Tertarik pada sepak bola, politik dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Misionaris Dunia Cyber

13 September 2016   11:23 Diperbarui: 18 Oktober 2016   18:07 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya” (Gus Dur)

Di era cyber saat ini, sangat sulit mengatakan kalau hidup manusia bisa terlepas dari pengaruh media sosial (medsos). Sebab sebagian besar manusia memanfaatkan teknologi ini, motifnya pun beragam baik dari sekedar untuk berkomunikasi sampai mencari penghidupan. Ada pula yang memanfaatkannya untuk menyebar kebaikan tetapi tidak sedikit yang menyebar fitnah dan keburukan.

Medsos pada dasarnya netral sifatnya, tidak buruk dan tidak pula baik, dia sangat tergantung dengan tangan yang memegangnya. Apabila tangan manusia yang memegangnya menuntaskan maksud buruknya maka buruklah dia, tetapi sebaliknya jika tangan yang memegangnya baik maka baik pulalah dia.

Data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau APJII (2015), akses penggunaan internet rata-rata mencapai 10-20 jam perhari. Dari data itu pengguna internet usia 18-31 tahun sebanyak 82 persen. Sementara itu, kelompok terorisme memanfaatkan media internet untuk menyebarkan pesan penuh hasutan dan kebencian serta mengajak aksi kekerasan. Jumlah situs dan akun medsos yang mereka manfaatkan sangat banyak dengan ragam bahasa dan bentuk, diantaranya dalam bentuk tulisan ataupun video berisi hasutan, kebencian, ancaman, dan ajakan kekerasan, juga terdapat pesan instan dengan memprovokasi untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok dan golongan. Maka tidak mengherankan jika rilis data tim riset (2012) dari Kementerian Luar Negeri, INSEP, dan Densus 88 menyebutkan bahwa 47,3 persen pelaku teroris adalah generasi muda dengan kisaran umur 21-30 tahun.

Saat ini, apabila seseorang ingin menjadi pelaku teror tidak perlu harus jauh-jauh belajar ke Suriah, Afghanistan, Irak atau ke tempat lain seperti pola-pola lama perekrutan para ekstrimis. Perkembangan teknologi informasi yang cukup pesat, telah memungkinkan generasi baru teroris dapat secara intensif dilatih melalui medsos. Kegiatan membaiat seseorang cukup dilakukan melalui chatting saja. Seperti kejadian di Medan baru-baru ini. Pelaku yang masih muda dicuci otaknya melalui dunia maya.

Anonimitas

Medsos adalah sarana mengekspresikan diri di dunia maya secara umum. Anak muda khususnya, akan tampil eksis di akun facebook, instagram, path, twitter, google+ dan media sosial lainnya. Media-media mainstream tersebut menjadi tempat upload foto dan menyampaikan gagasan atau kritik secara gratis dan bebas. Faktor anonimitas menjadi hal penting yang mendorong netizen lebih bebas dalam berinteraksi di medsos. 

Kerahasiaan identitas diri atau anonimitas sebenarnya bisa menjadi sarana bagi netizen yang memiliki kesulitan untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut identitasnya diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu, kerahasiaan itu bisa bermanfaat bagi orang-orang yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan. Di lain pihak, kerahasiaan diri memiliki dampak negatif. Kekaburan identitas bisa mendorong netizen bersikap agresif dan tidak bertanggung jawab. Netizen bisa melakukan apa saja tanpa harus takut identitasnya diketahui orang lain.

Insiden cyberbully dan penyemaian kekerasan di medsos (internet) adalah akibat dari cara-cara penyampaian ekspresi diri yang berlebihan karena merasa tidak ada pengawasan . Dalam konteks beragama, hal ini bisa juga melahirkan misi penyebaran agama yang kelewat ekspansif dan agresif. Misi penyebaran agama yang seharusnya beradab kemudian cenderung menjadi bar-bar dan penuh hasutan. Ada tendensi mengesampingkan cara-cara yang beradab lalu diselesaikan dengan cara-cara menistakan agama lain. Bahkan dalam beberapa kasus, kegiatan di dunia maya menembus batas dan mengakibatkan terjadinya kekerasan di dunia nyata. Medsos sering dijadikan sebagai sarana provokasi massa untuk melakukan kekerasan di dunia nyata.

Dakwah Cyber

Pada dasarnya, pemanfaatan medsos sebagai sarana misi mulia agama tidak dapat dihindari, tetapi perlu untuk mengatur dan mendorong misi yang kompetitif dan sehat, bukan kelewat ekspansif dan agresif, sehingga kehidupan beragama di masa datang lebih menyejukkan. Agama tidak bisa dipungkiri di dalamnya ada perintah suci untuk menjadikan manusia hidup dalam dan dengan cara agama tersebut. Oleh karena itu, para netizen tidak ubahnya sebagai misionaris dan pendakwah yang menyebar nilai-nilai agama. Akan tetapi, jika dibiarkan dengan cara-cara yang jauh dari keadaban manusia maka yang akan terjadi adalah kekerasan. Para netizen pun tidak ubahnya teroris yang menyebar teror dengan bertopeng misi mulia agama, padahal agama mana pun di dunia ini tidak pernah menghendaki kekerasan apalagi sampai menghilangkan nyawa manusia. Lantas bagaimana kita merawat kerukunan di era media sosial saat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun