Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Ada Jalan Keluar

30 April 2024   18:31 Diperbarui: 30 April 2024   18:34 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Buat apa besi rajam yang merah menyala? Tidak perlu sama sekali. Neraka adalah orang lain." (Pintu Tertutup (1944) karya Jean-Paul Sartre).

Tiga jiwa terkutuk dipertemukan dalam ruangan misterius. Sebuah kamar duduk tanpa cermin, tanpa jendela, lampu yang terus menyala, dan hanya terdapat tiga sofa yang dilengkapi dengan perabot gaya Kerajaan Kedua. Kamar itu menurut pelayan akhirat bernama Valet adalah salah satu kamar dari sekian jumlah kamar di lorong tak berujung. Singkat cerita, kamar ini adalah neraka, tempat Joseph Garcin, Inz Serrano, dan Estelle Rigault akan ditempatkan abadi bersama-sama. Tentu saja tak ada jalan keluar dari tempat itu.

Sama seperti pembaca, di awal-awal Garcin bertanya-tanya di mana alat-alat penyiksa yang akan disiapkan untuknya. Ia pikir neraka pasti memiliki bangku penyiksa, besi rajam yang merah api, dan berbagai alat perajam kejam untuk pendosa sepertinya. Tetapi anehnya ia malah disatukan dan dikunci dalam satu ruangan dengan jiwa lainnya.

Awalnya mereka saling mencurigai jikalau satu di antara mereka pastilah algojo neraka yang menyamar. Akan tetapi, segera mereka saling mengenal satu sama lain, mereka sadar jika mereka sama-sama jiwa terhukum. Ketiganya pun membeberkan kisah pribadi mereka, namun beberapa masih tetap merahasiakan perbuatan buruk mereka semasa hidup di dunia.

Garcin mengaku pernah bekerja sebagai sastrawan dan wartawan. Ia berbohong kalau ia dihukum mati karena menjadi pasifis yang frontal. Estelle bersikeras bahwa hanya terjadi kesalahan kecil dan ia meninggal sebab pneumonia. Hanya Inez yang jujur. Ia tak segan mengungkapkan terang-terangan pendapatnya tentang alasan mengapa mereka bisa tergabung dalam satu ruangan. Menurutnya, mereka sama-sama pembunuh dan dipilih untuk menjadi algojo yang akan menyiksa satu sama lain.

"Ada orang jadi korban untuk kepentingan kita--dan kita tidak peduli. Sekarang kita harus membayar hutang." (Hal 21)

Lalu bagaimana nasib mereka bertiga? Seperti apakah penyiksaan yang akan mereka alami nantinya?

Naskah drama di atas berjudul Huis Clos karya filsuf kenamaan Prancis, Jean-Paul Sartre. Huis Clos memiliki arti "pintu tertutup". Sebutan lain dalam bahasa Prancis untuk istilah hukum "in camera", suatu lawan dari persidangan terbuka. Dalam terbitan edisi bahasa Inggris Huis Clos selanjutnya diterjemahkan menjadi berbagai variasi judul, antara lain, In Camera, No Way Out, Vicious Circle, No Exit, dan Dead End.

Huis Clos pertama kali dimainkan di Thatre du Vieux-Colombier pada Mei 1944. Diperankan dengan baik oleh Michel Vitold, Gaby Sylvia, Tania Balachova, dan Chauffard. Sartre bahkan menyebut-nyebut penampilan pertama drama itu "sebagai kebahagiaan yang sangat langka" dalam wawancaranya dengan Moshe Naim (1964).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun