"Aku menunggu puisimu
Yang engkau kubur ragu-ragu
Sampaikanlah!
Walau hanya bait-bait simpati dan iba" Â (Dari tulisan Aku Menunggu Puisimu, Eki Saputra)
sastra yang lazim di kenal oleh semua kalangan. Tidak peduli berada di kelas sosial atau tingkatan apapun bagi seseorang untuk menulis dan menjadi penikmat puisi.
Siapa yang tidak kenal puisi? Salah satu bentuk karyaPuisi sungguh berbeda dengan jenis karya sastra lain. Sejarahnya terhitung lampau, dan mengalami pembaruan di setiap masanya. Manusia sejak lama menggunakan puisi sebagai media untuk berekspresi.Â
Tidak hanya sekedar memperindah kata-kata, melainkan juga menyelipkan sebuah makna yang ingin dicapai oleh penulisnya. Dan pembaca bisa menggali melalui cara pandang mereka masing-masing.
Puisi Lama (Di bawah tahun 2000-an)
Seorang penulis puisi lama dalam melahirkan karyanya sangat hati-hati. Terbukti dari setiap karya yang mereka buat selalu ada kesan tersendiri. Yang membuat pembacanya hanyut dalam diksi singkat ciptaan mereka. Meskipun kadang-kadang ungkapan itu terdengar klise, tetapi selalu menarik buat dibaca dan melekat di kepala.
Pun puisi dahulu terasa lebih berkesan. Pertama, karena ada nilai-nilai perjuangan (sejarah) yang diselipkan di dalamnya. Seperti tulisan-tulisannya W.S Rendra, Wiji Thukul, Taufik Ismail, dll. Mereka mencoba bersuara ketika saat itu kebebasan bicara tengah dibungkam.
Misalnya dalam "Istirahatlah Kata-Kata"-nya, Wiji Thukul mengingatkan para aktivis dan kelompok pergerakan untuk tidak terburu-buru bersuara keras, demi mencegah represi yang dilakukan rezim kala itu.
"tidurlah, kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan"Â (Istirahatlah Kata-Kata, Wiji Thukul)
Wiji yang hilang kabarnya sampai kini memang terkenal sebagai orang yang lantang, berani, Â dan tanpa tedeng aling-aling dalam melakukan pemberontakan, serta menyuarakan kritikannya pada rezim orba yang mencengkeram kebebasan berpendapat.