Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Nostalgia Penyair Lama hingga Demam Puisi Gelap

29 April 2020   04:20 Diperbarui: 29 April 2020   14:04 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, puisi mereka punya nyawa di setiap baitnya yg sederhana. Siapa yang tidak luluh dan tersentuh mana kala membaca "Aku Ingin"  atau "Hujan Bulan Juni" kepunyaan penyair Sapardi Djoko Damono? Sapardi menggambarkan kesederhanaannya dalam mencinta, layaknya kayu kepada api. Terbakar jadi abu, tanpa sempat menyatakan kata-kata terakhir pada api.

Sedangkan Chairil Anwar dikenang lewat "Aku" dan "Derai-derai Cemara"  yang menderai sampai jauh. Tak diragukan lagi bagaimana seorang Chairil membisukan pembaca lewat ungkapan  "Aku ini binatang jalang". Lupakan soal diksi, membaca puisi ini kita akan hanyut dalam kesendirian sang penyair.

Aku, tak lain puisi yang sepenuhnya mewakili jati diri seorang Chairil. Ada upaya menampilkan eksistensi diri, individualitas, dan emosi sang penulis yang teraduk di dalamnya. Dan sesuai keinginannya, ia abadi hingga sekarang seperti kemauannya "ingin hidup seribu tahun lagi".

Rasanya membahas gagasan Chairil tak akan pernah ada habisnya. Ruh dalam karya yang ia cipta tidak terdekomposisi sebagaimana tubuhnya. 

Pikirannya tetap tertinggal di hati kita pembaca, seolah-olah dia masih hidup dan berada di antara kita. Itulah kekuatan puisi, yang bisa menghidupkan pikiran orang yang telah tiada.

Lalu mari kita kenang "Sajadah Panjang" -nya milik Taufik Ismail yang dipopulerkan Bimbo dan Noah. Puisi ini sarat akan refleksi diri dan upaya penyadaran kepada manusia (muslim) tentang tujuan manusia diciptakan. 

Sajadah sebagai simbol ruang gerak manusia. Sejatinya kita "dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan" tak lepas dari kewajiban beribadah kepada sang pencipta.

Ada pula Beri Daku Sumba yang mengajak kita menjelajah tanah Nusa Tenggara Timur. Pembaca digiring berkhayal tentang indahnya daratan dengan padang rumput terbuka, kuda, dan gembala.

"Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan"  
(Taufik Ismail dalam Antalogi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia)

Fenomena Puisi Gelap Masa Kini

Semakin berkembangnya teknologi, puisi bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk ditemui. Kini muncul istilah penyair digital atau penyair medsos yang belakangan hadir memanfaatkan platform medsos untuk membagikan karyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun