Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Nostalgia Penyair Lama hingga Demam Puisi Gelap

29 April 2020   04:20 Diperbarui: 29 April 2020   14:04 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejalan dengan itu, lahirlah banyak puisi-puisi baik mengikuti gaya lama maupun dengan keterbaruan. Namun, terdapat hampir kesamaan pada beberapa kasus, seperti penyair milenial hanya mengikuti arus penikmat. 

Bukan bergelut pada idealisme penulis itu sendiri. Puisi-puisi seperti ini gampang ditenggelamkan dan dilupakan, atau mungkin dikutip beberapa kali hingga dicatut oleh penikmat sebagai hak milik pribadi.

Sama dengan lagu di masa sekarang, puisi milenial kebanyakkan minim kekuatan. Anak muda kerap membicarakan cinta melulu, yang dibungkus kata-kata indah, tetapi tidak ada esensi yang bisa digali, selain emosi berlebihan. Atau puisi diperalat sebagai bentuk halus menyatakan kepalsuan diri seseorang.

Maka sering kali di kalangan anak muda muncul sarkas untuk menyindir orang yang melebih-lebihkan diksi dalam penyampaian sesuatu yang sederhana. Atau semacam perasaan pesimis dalam diri pembaca setiap mendapati bait-bait indah yang berujung dengan arti "itu-itu saja".

Di masa sekarang, ada pula puisi terbebani diksi hingga nampak gelap dan sulit digenggam pembaca. Terikat kata-kata yang nampak indah dan rumit, namun tak punya kedalaman makna atau keterbaruan yang menarik hati (tak semua sebenarnya). 

Bukan makna yang dituntut, tapi sesuatu yang bisa dipahami walau cuma satu atau dua kata di dalamnya.

Puisi gelap, begitu saya menyebut istilah puisi yang dibaca berulang-ulang dan dihayati, namun tidak mendapatkan apa-apa dan keterkaitan antara kata-kata yang dibuat. 

Puisi gelap biasanya beberapa tampak menarik, pilihan kata yang indah, rimanya rapi, atau pemakaian majas yang menarik imajinasi. Namun, ketika dipadukan dalam kepala pembaca, hanyalah sekumpulan huruf abstrak.

Bukan berarti puisi mereka ini hitam dan tidak bisa diterawangi, sesungguhnya bisa, tetapi hanya di segelintir penikmatnya atau pemilik karya itu sendiri. Sesuatu yang menarik bila memang itu kekhasan yang dipunyai penulis. 

Sayangnya, kalau itu cuma semacam bumbu menulis sebentar (eksperimen), maka akan membunuh karakter si penulis. Alih-alih membuat karyanya diingat justru orang akan mudah abai dan tak antusias lagi.

Padahal Sutardji Calzoum Bachri telah memproklamasikan soal kata-kata dalam puisi. Menurutnya, kata-kata itu mesti terbebas dari penjajahan pengertian dan dari beban ide, serta penjajahan gramatika dan tabu bahasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun