Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Nostalgia Penyair Lama hingga Demam Puisi Gelap

29 April 2020   04:20 Diperbarui: 29 April 2020   14:04 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: membaca puisi via pixabay.com (PIXABAY.COM/ThoughtCatalog)

"Aku menunggu puisimu
Yang engkau kubur ragu-ragu
Sampaikanlah!
Walau hanya bait-bait simpati dan iba"  
(Dari tulisan Aku Menunggu Puisimu, Eki Saputra)

Siapa yang tidak kenal puisi? Salah satu bentuk karya sastra yang lazim di kenal oleh semua kalangan. Tidak peduli berada di kelas sosial atau tingkatan apapun bagi seseorang untuk menulis dan menjadi penikmat puisi.

Puisi sungguh berbeda dengan jenis karya sastra lain. Sejarahnya terhitung lampau, dan mengalami pembaruan di setiap masanya. Manusia sejak lama menggunakan puisi sebagai media untuk berekspresi. 

Tidak hanya sekedar memperindah kata-kata, melainkan juga menyelipkan sebuah makna yang ingin dicapai oleh penulisnya. Dan pembaca bisa menggali melalui cara pandang mereka masing-masing.

Puisi Lama (Di bawah tahun 2000-an)

Seorang penulis puisi lama dalam melahirkan karyanya sangat hati-hati. Terbukti dari setiap karya yang mereka buat selalu ada kesan tersendiri. Yang membuat pembacanya hanyut dalam diksi singkat ciptaan mereka. Meskipun kadang-kadang ungkapan itu terdengar klise, tetapi selalu menarik buat dibaca dan melekat di kepala.

Pun puisi dahulu terasa lebih berkesan. Pertama, karena ada nilai-nilai perjuangan (sejarah) yang diselipkan di dalamnya. Seperti tulisan-tulisannya W.S Rendra, Wiji Thukul, Taufik Ismail, dll. Mereka mencoba bersuara ketika saat itu kebebasan bicara tengah dibungkam.

Misalnya dalam "Istirahatlah Kata-Kata"-nya, Wiji Thukul mengingatkan para aktivis dan kelompok pergerakan untuk tidak terburu-buru bersuara keras, demi mencegah represi yang dilakukan rezim kala itu.

"tidurlah, kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan" 
(Istirahatlah Kata-Kata, Wiji Thukul)

Wiji yang hilang kabarnya sampai kini memang terkenal sebagai orang yang lantang, berani,  dan tanpa tedeng aling-aling dalam melakukan pemberontakan, serta menyuarakan kritikannya pada rezim orba yang mencengkeram kebebasan berpendapat.

Kedua, puisi mereka punya nyawa di setiap baitnya yg sederhana. Siapa yang tidak luluh dan tersentuh mana kala membaca "Aku Ingin"  atau "Hujan Bulan Juni" kepunyaan penyair Sapardi Djoko Damono? Sapardi menggambarkan kesederhanaannya dalam mencinta, layaknya kayu kepada api. Terbakar jadi abu, tanpa sempat menyatakan kata-kata terakhir pada api.

Sedangkan Chairil Anwar dikenang lewat "Aku" dan "Derai-derai Cemara"  yang menderai sampai jauh. Tak diragukan lagi bagaimana seorang Chairil membisukan pembaca lewat ungkapan  "Aku ini binatang jalang". Lupakan soal diksi, membaca puisi ini kita akan hanyut dalam kesendirian sang penyair.

Aku, tak lain puisi yang sepenuhnya mewakili jati diri seorang Chairil. Ada upaya menampilkan eksistensi diri, individualitas, dan emosi sang penulis yang teraduk di dalamnya. Dan sesuai keinginannya, ia abadi hingga sekarang seperti kemauannya "ingin hidup seribu tahun lagi".

Rasanya membahas gagasan Chairil tak akan pernah ada habisnya. Ruh dalam karya yang ia cipta tidak terdekomposisi sebagaimana tubuhnya. 

Pikirannya tetap tertinggal di hati kita pembaca, seolah-olah dia masih hidup dan berada di antara kita. Itulah kekuatan puisi, yang bisa menghidupkan pikiran orang yang telah tiada.

Lalu mari kita kenang "Sajadah Panjang" -nya milik Taufik Ismail yang dipopulerkan Bimbo dan Noah. Puisi ini sarat akan refleksi diri dan upaya penyadaran kepada manusia (muslim) tentang tujuan manusia diciptakan. 

Sajadah sebagai simbol ruang gerak manusia. Sejatinya kita "dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan" tak lepas dari kewajiban beribadah kepada sang pencipta.

Ada pula Beri Daku Sumba yang mengajak kita menjelajah tanah Nusa Tenggara Timur. Pembaca digiring berkhayal tentang indahnya daratan dengan padang rumput terbuka, kuda, dan gembala.

"Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan"  
(Taufik Ismail dalam Antalogi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia)

Fenomena Puisi Gelap Masa Kini

Semakin berkembangnya teknologi, puisi bukan menjadi sesuatu yang sulit untuk ditemui. Kini muncul istilah penyair digital atau penyair medsos yang belakangan hadir memanfaatkan platform medsos untuk membagikan karyanya.

Sejalan dengan itu, lahirlah banyak puisi-puisi baik mengikuti gaya lama maupun dengan keterbaruan. Namun, terdapat hampir kesamaan pada beberapa kasus, seperti penyair milenial hanya mengikuti arus penikmat. 

Bukan bergelut pada idealisme penulis itu sendiri. Puisi-puisi seperti ini gampang ditenggelamkan dan dilupakan, atau mungkin dikutip beberapa kali hingga dicatut oleh penikmat sebagai hak milik pribadi.

Sama dengan lagu di masa sekarang, puisi milenial kebanyakkan minim kekuatan. Anak muda kerap membicarakan cinta melulu, yang dibungkus kata-kata indah, tetapi tidak ada esensi yang bisa digali, selain emosi berlebihan. Atau puisi diperalat sebagai bentuk halus menyatakan kepalsuan diri seseorang.

Maka sering kali di kalangan anak muda muncul sarkas untuk menyindir orang yang melebih-lebihkan diksi dalam penyampaian sesuatu yang sederhana. Atau semacam perasaan pesimis dalam diri pembaca setiap mendapati bait-bait indah yang berujung dengan arti "itu-itu saja".

Di masa sekarang, ada pula puisi terbebani diksi hingga nampak gelap dan sulit digenggam pembaca. Terikat kata-kata yang nampak indah dan rumit, namun tak punya kedalaman makna atau keterbaruan yang menarik hati (tak semua sebenarnya). 

Bukan makna yang dituntut, tapi sesuatu yang bisa dipahami walau cuma satu atau dua kata di dalamnya.

Puisi gelap, begitu saya menyebut istilah puisi yang dibaca berulang-ulang dan dihayati, namun tidak mendapatkan apa-apa dan keterkaitan antara kata-kata yang dibuat. 

Puisi gelap biasanya beberapa tampak menarik, pilihan kata yang indah, rimanya rapi, atau pemakaian majas yang menarik imajinasi. Namun, ketika dipadukan dalam kepala pembaca, hanyalah sekumpulan huruf abstrak.

Bukan berarti puisi mereka ini hitam dan tidak bisa diterawangi, sesungguhnya bisa, tetapi hanya di segelintir penikmatnya atau pemilik karya itu sendiri. Sesuatu yang menarik bila memang itu kekhasan yang dipunyai penulis. 

Sayangnya, kalau itu cuma semacam bumbu menulis sebentar (eksperimen), maka akan membunuh karakter si penulis. Alih-alih membuat karyanya diingat justru orang akan mudah abai dan tak antusias lagi.

Padahal Sutardji Calzoum Bachri telah memproklamasikan soal kata-kata dalam puisi. Menurutnya, kata-kata itu mesti terbebas dari penjajahan pengertian dan dari beban ide, serta penjajahan gramatika dan tabu bahasa. 

Jadi, setiap orang tidak perlu mengeruhkan diri agar orang lain kesulitan menyelami dasar. Tulis saja apa adanya.

Barangkali juga tidak sepenuhnya salah penulis. Mungkin saja pembaca seperti saya lah yang menyusahkan diri sendiri. Kata seseorang kenalan saya di medsos begini kira-kira menyindir,  "kita terlalu pusing menggali makna sampai lupa menikmati". Menurutnya puisi yang bagus akan terkenang dan merasuk sendiri ke sanubari pembaca.  Tanpa perlu kita cari-cari arti maupun tujuannya.

Benar, saya mungkin gatal memikirkan arti, tujuan, makna, atau sekadar inti dari puisi, sebagai usaha saya dalam menyelami isi kepala seorang penulis. 

Saya lupa, entah karya puisi yang dibuat cuma kerjaan iseng waktu buang air, atau sehabis cuci baju. Lalu penulis unggah di medsos, kemudian saya baca dan saya selami berhari-hari (inilah yang disebut bodoh).

Apa kekurangan puisi di zaman sekarang?

Di era milenial, teknologi memang membantu  memberi ruang bagi para penulis puisi untuk menyebarkan tulisannya. Kemudahan akses dan banyaknya media tulis yang bisa dipakai berarti  sejalan dengan lahirnya banyak-banyak penulis muda yang baru merintis.

Salah satu usaha penulis puisi di masa sekarang agar dikenal publik adalah dengan cara menerbitkan karyanya secara indie. Biasanya dilakukan berkelompok supaya antalogi itu laku. Sedihnya, pasar buku puisi bagi penulis baru itu bisa dikatakan nihil.

Nyatanya teknologi tidak menghapus tradisi sastra masa lalu. Kebanyakkan cerpenis dan penyair dipaksa lahir dari media cetak besar. 

Seiring kali kredibilitas penulis dipertanyakan apabila belum pernah tulisannya dimuat di koran atau majalah sastra. Walaupun realitanya media cetak perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan tergantikan portal berita online.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun