Mohon tunggu...
Eka Nawa Dwi Sapta
Eka Nawa Dwi Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Beauty Privilege yang Menyakiti Orang Jelek

5 Februari 2020   20:36 Diperbarui: 6 Februari 2022   11:00 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menolak Beauty privilege via hipwee.com

Memasuki awal Februari nama Jefri Nichol tiba-tiba menduduki trending gara-gara cuitannya di twitter. Aktor muda kelahiran tahun 99 ini seolah-olah muak karena banyaknya netizen yang mengaitkan pemakluman kasus narkobanya lantaran daya tarik wajah yang ia miliki (baca: tampan).

Bermula dari artis sekaligus musisi,  Ardhito Pramono,  yang ramai dibicarakan akibat twit-twitnya sembilan tahun lalu. Twitnya dinilai rasis dan homophobik oleh sebagian warganet. Warganet pun menjadi terbagi dua, sebagian membela dan sisanya kontra dengan sikap Ardhito, terlebih video klarifikasinya tidak memuaskan dan seakan-akan membela diri.

Sang pemeran Kale dalam NKCTHI ini tetap mendapat dukungan dari banyak pengguna twitter, yang rata-rata memaklumi perbuatan tersebut dikarenakan twitnya itu dibuat jauh sebelum terkenal seperti sekarang, lagi pula saat itu ia masih remaja, yang bisa dibilang labil.

Lantas apa hubungan kasus Ardhito dan cuitan Jefri yang kontroversi?

Karena kasus Ardhito sedang hangat diperbincangkan, banyak orang mulai membanding-bandingkan kejadian ini dengan kasus si pemeran Nathan yang terseret kasus narkoba. Menurut pandangan beberapa warganet, reaksi dan tanggapan terhadap Ardhito dan Jefri memiliki kesamaan.

Mereka didukung dan dibela semata-mata karena parasnya. Sikap netizen membela terhadap keduanya dianggap timpang sebelah karena membedakan seseorang atas dasar tampan/cantiknya orang itu, bukan attitude dan perbuatan yang dia lakukan.

Hal ini menilik kasus serupa, di mana ketika tokoh/artis lain yang tidak memenuhi standar fisik orang-orang,  justru mendapatkan cercaan dan hinaan sadis. Alih-alih dibela, mereka dihujat dan mendapatkan sanksi sosial, entah di medsos maupun dunia nyata.

Tidak terima dengan anggapan sinis padanya, Jefri meluapkan unek-uneknya dengan menulis 3  tweet sekaligus(31/01).

Bukannya mendapatkan respons positif atau dukungan , tindakannya justru jadi sasaran kemarahan warganet yang merasa tersinggung.

Orang-orang yang merasa dirinya 'jelek' pun beramai-ramai membagikan pengalaman mereka sehari-hari ketika mendapatkan perlakuan tidak adil lantaran fisik tak memenuhi standar ideal di lingkungannya. Menurut mereka Jefri semakin memperjelas adanya dinding pembatas di antara orang jelek dan tidak jelek. (Baca juga artikel Memahami Derita jadi Orang Jelek)

Ia tampaknya lupa mengenai "beauty privilege". Tidak bisa dipungkiri, seseorang yang dianggap cantik/tampan sesuai standar yang dianut orang-orang tentu akan mendapatkan keistimewaan atau keunggulan tersendiri. Selain kesalahan mereka kerap dimaklumi, ada juga keistimewaan lainnya seperti lebih diunggulkan dan diperhatikan.

Walaupun demikian, keistimewaan ini tidak bisa didapatkan semata-mata hanya bermodalkan wajah. Tentu saja harus didukung oleh kemampuan lain seperti kecerdasan, bakat, penampilan, dan sikap. Namun, keberadaan fisik ideal itu biasanya lebih mudah menarik perhatian orang lain.

Beauty Previlege memang sudah lama ada. Kita sadar, beberapa lowongan kerja perbankan menulis secara gamblang mengenai syarat harus berpenampilan 'menarik'. Kata 'menarik' tidak cukup diartikan sebagai bersih, rapi, dan sopan saja.

Menurut KBBI (2020),  menarik berarti menyenangkan (menggirangkan, menyukakan hati karena indahnya, cantiknya, bagusnya). Dari kata 'menarik' saja kita sudah paham adanya hak-hak istimewa bagi mereka yang rupawan.

Ironisnya, jika orang berparas menarik dicitrakan sebagai sosok cerdas dan baik-baik, kebalikannya orang-orang yang dicap jelek (tak memenuhi standar lingkungannya). 

Mereka sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang sekitar, sering dinomor duakan, dan mendapat stigma negatif. Bahkan ada yang sampai di-bully.

Jefri sepatutnya tidak reaktif menanggapi sindiran-sindiran yang orang lain layangkan padanya. Sebab, mau tidak mau, suka tidak suka,  dia sudah menikmati keistimewaan itu tanpa ia sadari atau diminta.

Kalau ada pihak-pihak merasa cemburu dan tidak terima, toh itu sesuatu yang wajar. Tidak mungkin keistimewaan itu hanya membawa hal baik dan enak saja, pasti juga menimbulkan sisi buruk, yaa salah satunya pandangan skeptis dan sentimen di pihak kontra.

Kalau dia berusaha menghapus standar yang ada? Untuk apa? Memangnya saat ini daya tarik apa yang membuat ia bisa unggul dibandingkan aktor lainnya (yang notabene lebih jago bermain film)?

Ya, modal akting memang perlu, tapi tidak mungkin cukup hanya itu. Parasnya turut serta menyumbang peluang,  sehingga dia bisa jadi artis terkenal seperti sekarang.

Jadi, usahanya menghapus standar yang orang lain bangun tidak membuat ia terbebas dari kata hipokrit, justru yang hipokrit ialah dirinya sendiri karena menolak diistimewakan tapi menikmati hak-hak istimewa itu.

Seharusnya yang perlu ia lakukan ialah mensyukuri kelebihan yang ia miliki dan menjadikan kelebihannya sebagai alat untuk menyebarkan nilai-nilai positif pada orang lain, atau mencoba membuktikan eksistensi diri tanpa perlu membangun stigma aneh-aneh.

Apalagi sebagai seorang public figur yang punya ribuan penggemar dari  berbagai kalangan, maka apapun yang ia bagikan sudah pasti akan menjadi sorotan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun